Para wali yang diutus oleh Sultan Turki ke Nusantara itu memiliki kemampuan membaca situasi masyarakat. Kemampuan mereka membaca kondisi psikologi dan sosiologi masyarakat membuat proses Islamisasi berjalan dengan damai. Tradisi ini dilanjutkan oleh para penerusnya dengan kreativitas baru menyesuaikan tuntutan dan peluang zaman.

Kemudian datanglah kolonialisme yang membuat kreativitas dakwah secara kebudayaan mandeg, karena para ulama fokus untuk menjaga persatuan umat mengobarkan perang pada para penjajah. Di tengah suasana perang itu, datang generasi dakwah yang bercorak puritan. Kala itu, mereka masih cenderung bisa diajak bersatu dan saling melengkapi.

Bahkan pernah tercapai sebuah prestasi di abad 20 dengan lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia yang kemudian menjadi Masyumi. Di awal kemerdekaan, inilah payung aspirasi umat Islam yang sesungguhnya. Namun memang Qadarullah, kita diuji dengan penderitaan batin dan pikiran untuk Dia melihat apakah nanti sanggup bertahan ketika tiba masa fitnah lewat media sosial.

Umur Masyumi versi komplit cuma sebentar. Setelah wafatnya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, pecahlah rumah perjuangan umat Islam itu. Semakin berlanjut, semakin pecah dan akhirnya benar-benar hancur dibuldozer oleh kekuatan rezim orde lama maupun orde baru. Kembali umat Islam bertahan di atas pijakan kulturalnya. Dan drama perselisihan antara pewaris wali dan kaum puritan kembali tampil mengemuka. Dan mungkin sengaja dipelihara oleh oknum pemecah belah umat Islam.

Kini sekian dekade telah berlalu. Teriakan seruan bersatu selalu kerap terdengar dalam orasi. Tapi entah mengapa lama-lama aku hanya menganggapnya ritual pidato saja. Karena usai begitu, perselisihan dan aneka perbedaan akan diperadukan dengan cara demokrasi media sosial. Strategi kebudayaan dan sejarah yang seharusnya menjadi ruang untuk melihat mata rantai masa lalu yang terputus kadung dihukumi sebagai kesesatan.

Tradisi rembugan “gimana baiknya” yang sejatinya dijiwai kebersihan nurani, berubah menjadi model menang-kalah, baik dengan metode kasar (baca: konflik dan perang) atau demokrasi (voting). Kedua metode itu sama rusaknya dan merugikannya. Tapi anehnya orang-orang modern sekarang memilih menggunakan salah satu dari keduanya, bahkan dua-duanya. Maka nggak usah nggedebus soal Pancasila deh, itu cuma basa-basi saja.

Hahaha, sekarang lahir generasi yang aku sendiri sangat takjub. Begitu menakjubkannya mereka begitu terobsesi menaklukkan masalah negeri yang sudah rusaknya berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka begitu praktis dalam berpikir dan kerap mencampakkan warisan pemikiran pendahulunya. Ini generasi menakjubkan karena konon bisa mengubah negeri ini sekejab. Tapi semua konon itu memang tak jelas juga. Entahlah, saya cuma takjub jika bertemu dengan generasi semacam itu.

Barangkali ini fase Allah menguji umat Islam untuk melihat apakah umat Islam sanggup bertahan pada pemikiran yang benar dan sehat atau menyerah. Karena segala -isme dibukakan pintunya untuk mencari pengikut. Agama uang juga mulai didakwahkan secara masif. Kitab suci hoax terus diproduksi secara cuma-cuma. Tarekat gagal pahamiyah, pisuhiyah, ngawuriyah, ngamukiyah, hingga pateniyah terus menjamur pengikutnya. Syariat kamuflasiyah terus digencarkan untuk mengelabui hakilat Islam.

Maka tak heran salah seorang budayawan berkelakar, lulusnya orang Indonesia itu kalau dia sudah putus asa maksimal. Lalu dia bangkit menjadi jiwa baru. Jika selama ini merasa sehat-sehat dan baik-baik saja menganggap tidak ada masalah apa-apa berarti bersedihlah karena pintu ilmunya masih dikunci. Jika sampai mati tak kunjung dibuka, adakah kisah yang lebih celaka dari manusia-manusia modern abad ini.

Gunungkidul, 21 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.