Ketika umat menjadi kaum instan dan selalu nyadong fatwa MUI dengan metode mirip beli barang di minimarket akhirnya sekarang sembarang diributkan nggak karuan.
Pas zaman keluarnya fatwa golput haram, di KC 2009 jadi bahan tertawaan. Karena kaidah fatwa halal haram nek merujuk para ulama terdahulu itu yo harus sistematis dari akar masalahnya.
Simbah pun bikin silsilah fatwa sebagai berikut. Nek golput haram, maka harus ada fatwa dahulu dong pemilu itu hukumnya wajib, ada nggak? belum ada kan. Nek pemilu wajib, maka harus ada fatwa dahulu dong bahwa demokrasi itu hukumnya wajib, ada nggak? belum ada kan. Nek demokrasi wajib, maka harus ada fatwa dahulu dong bahwa NKRI, konstitusi negara dan pemerintahannya itu sah dan wajib ditaati dong, ada nggak? belum ada kan.
Lha setahu saya, setiap pemerintahan baru terbentuk tidak ada fatwa baru soal itu, sementara saat NKRI ini berdiri kesepakatan pasti para ulama negeri ini, keterangan pastinya juga belum bisa diakses publik, baru katanya begini dan begitu. Bahkan malah sekarang ada ormas yang mau bikin negara baru secara terang-terangan.
Sekarang telisik tentang fatwa kerja di bank, jadi PNS, dan hal-hal yang ada di negeri ini. Kelihatan banget kan pragmatisnya fatwa tersebut. Karena muncul secara ujug-ujug sesuai situasi kontemporer tetapi terkadang ahistoris. Maka saat memberi keputusan tentang kesesatan Syiah, Ahmadiyah dll formulasinya juga menjadi aneh, karena silsilah penurunan fatwanya membuat pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa sementara rakyat terlanjur emosional. Akhirnya yang terjadi kekerasan. Aliran sempalan Islam memang sesat, harus diluruskan, tetapi salah metode secara global akhirnya umatnya jadi korban. Kalo cuma bingung sih mending, lha kalau terlanjur bunuh-bunuhan.
Bandingkan dengan zaman dahulu, ulama sudah pasti menyuruh umat Islam berbaiat kepada penguasa sehingga penguasa itu sah menjalankan pemerintahan dengan sistemnya. Karena tidak ada mekanisme demokrasi dan berbagai bentuk turunannya, maka fatwa-fatwa yang ruwet dan nyleneh tidak ada. Apalagi penguasa mengangkat ulama menjadi hakim wilayah, jadi putusan fatwa sekaligus solusi persoalan umat.
Adakah negeri yang begitu indahnya seperti hari ini. Maaf, problematika dakwah kita sangat kompleks. Dan Islam tidak menghendaki ada manusia yang tetap berpegang pada kebodohan lalu mengemis putusan dari orang lain. Islam mewajibkan setiap pemeluknya belajar agar mengerti kehidupan dan membuat keputusan hidup yang tepat. Karena keputusan hidupnya itu yang nanti ditagih oleh Allah. Tidak ada dosa warisan dan tidak ada saling lempar tanggung jawab.
Ulama yang sejati juga bukanlah mereka yang merasa lebih tinggi dari manusia lainnya. Ulama sejati adalah mereka yang memiliki cinta kasih kepada manusia lainnya melebihi umumnya (karena begitu meneladani akhlak Rasulullah) sehingga paling bersemangat dalam amar ma’ruf dan memperingatkan penguasa agar melakukan nahi munkar. Ulama yang tiap hari cuma melarang umat ini itu tetapi tidak berani menghadang pemerintah di garis depan, ya silahkan disimpulkan sendiri. Apalagi ulama yang tiap hari memuji-muji penguasa. Njuk piye umatmu.
Siapa ulama hari ini yang seperti Imam Ahmad bin Hanbal? Siapa yang berani seperti Hasyim Asy’ari, Hamka, Natsir? Yang berani menasihati terang-terangan kepada penguasa, rela dipenjara. Yen awake dewe we jirih, yo ra sah nuntut-nuntut sing ora-ora. Sabar wae, yen ra iso dadi kaya para Ulama kuwi.
Surakarta, 21 Juni 2015