Maraknya viral-viralan di medsos dan ramainya orang pro-proan atau anti-antian seperti zaman now menunjukkan bahwa kita ketergantungan pada sesuatu yang di luar kita.

Padahal, kalau misalnya kita yang muslim sibuk dengan al Quran, bukan sekedar untuk ajang tahu-tahuan, hafal-hafalan, atau lomba-lombaan, tapi benar-benar menjadikannya sebagai teman yang mengalihkan pikiran kita dari kegaduhan dan kebencian kok rasanya pas banget.

Coba deh kita tadabbur ayat-ayat, bisa lewat terjemahannya, dan mencoba menelurkannya ke dalam filosofi hidup, inspirasi berkarya sesuai passion, dll. Kita gali manfaatnya untuk diri kita sendiri dan kita ceritakan hanya kepada yang memerlukan. Kita galakkan kongkow-kongkow yang memperbincangkan al Quran secara luas.

Umat Islam dan manusia pada umumnya sudah terlalu lama berkenalan dengan al Quran secara tidak langsung. Keseringan dicomblangi wae. Mau berkenalan langsung, ditakut-takuti dengan berbagai ancaman dalil. Akhirnya kebanyakan umat Islam hanya menjadi pengikut atas golongan-golongan, tidak terbiasa berdiri sendiri sebagai dirinya yang rendah hati berkawan dengan al Quran.

Ada banyak cara mengakrabi al Quran. Bahkan yang belum bisa baca blas, bisa kok beli mushaf dan diciumi setiap hari dengan cinta yang tulus. Siapa tahu hatinya dilembutkan, dimudahkan belajar membaca dan mengkajinya. Dengan berinteraksi langsung, setidaknya kita akan mengerti bahwa jika ada 5 orang bisa jadi muncul 5 interpretasi yang berbeda atas ayat yang sama. Selanjutnya obrolkan dengan santai, tarik ke arah manfaatnya, tidak usah eyel-eyelan mana yang paling benar, tapi mana yang paling bermanfaat dan menjaga akal sehat sehingga menjamin keadilan.

Seharusnya inilah peran yang diharapkan dapat dimaksimalkan para ulama, karena mereka tentu lebih tahu banyak tentang al Quran. Tapi kita lihat, yang dilabeli ulama-ulama pun kadang tidak bisa diteladani bagaimana cara bersikap terhadap perbedaan. Ya sudah to, mari umat pecinta al Quran, kita lakukan secara kecil-kecilan saja. Tidak usah nunggu serba bisa ini itu sik, selak mati. Percayalah, jika kita disibukkan dengan warisan Nabi yang paling fenomenal ini, minimal kita bisa ayem dan terhindar dari hiruk pikuk gosip dan provokasi kebencian.

Surakarta, 20 Februari 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.