Gegara diskusi dengan mentor tadi sore aku jadi mikir, cara mengetes calon pemimpin itu layak apa tidak adalah dengan diece secara keras. Jika dia masih baper dan mencak-mencak maka tidak layak. Karena kalau nanti jadi pemimpin beneran dia akan bertangan besi dan suka menyingkirkan orang yang berbeda pemikiran dengannya.

Dan Kanjeng Nabi juga telah meneladankan bagaimana menjadi pemimpin. Diludahi tiap hari tetap santai, sampai saat si tukang meludahi sakit nabi malah tanya, “tu anak kemana? kok hari ini nggak ngludahin saya”. Ada yang memberi tahu, “lagi sakit”. Dijenguk, didoakan, akhirnya malah masuk Islam.

Negeri ini tidak akan banyak berubah di tangan generasi yang baper. Generasi muda itu penuh energi, tetapi selama energinya hanya dihabiskan untuk marah-marah, melayani ecean dengan kegusaran, dan tidak berani mengambil keputusan untuk menyepi (dalam rangka berkarya dari nol) dia hanya akan menambah daftar panjang potret pemimpin yang tidak kenal akan potensi negeri dan bangsanya, selain hanya akan jadi penerus para pembual di pusat pemerintahan.

Membangun negeri adalah wujud rasa syukur. Hidup sederhana adalah wujud syukur. Menahan diri dari apa yang bukan miliknya adalah wujud dari rasa syukur. Karena semua itu tanda bahwa kita menerima (qanaah) dengan apa yang Allah beri, tanpa harus ngrebut yang lain. Termasuk menggunakan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada kita untuk mengabdi.

Juwiring, 31 Desember 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.