Saudi sudah memulai perang dengan sesama negara Arab, kini mulai ngajak keroyokan dari apa yang dimulai. Semoga Indonesia tidak ikut-ikutan.

Saudi dan Iran, dua negara yang sama-sama sektariannya, yang saling menolak satu sama lainnya hingga akhirnya runcing seperti sekarang. Lalu kita yang di sini, yang informasinya terbatas tentang keduanya, ikut-ikutan berdebat dan jadi pendukung salah satunya dengan berbagai dalih dan argumennya.

Lalu saya berpikir, kayaknya permusuhan-permusuhan yang kita bangkitkan di negeri ini juga begitu. Tokoh A tidak suka tokoh B dan sebaliknya. Keduanya akan menghasut yang lain dan mencari pendukung. Dan orang-orang yang jadi pendukung rata-rata juga tidak pernah klarifikasi secara seimbang dari kedua belah pihak, terutama menyangkut kepentingan mereka.

Dari simulasi sederhana itu, saya bersyukur di usia yang masih labil ini saya tidak terbiasa ikut-ikutan baper. Apakah masuk akal, kita ikut-ikutan membenci sesuatu yang kita tidak punya informasi memadai atasnya. Dan apa kita juga mau nanggung dosa jika ternyata apa yang kita provokasikan ternyata salah.

Salah satu guru pernah menasihati, jadilah di pertengahan saja. Ternyata pengajaran dari Kanjeng Nabi juga demikian, beliau tidak perang jika bukan diperintahkan oleh Allah. Makanya 9 tahun di Madinah, hanya 50-an kali (beliau hadir sendiri 23 kali) perang yang terjadi, itu pun hanya beberapa saja perang yang skalanya besar. Jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tradisi umumnya bangsa Arab yang hobi berperang satu sama lain kala itu.

Mengambil inspirasi dari piagam Hudaibiyah, ada filosofi Jawa yang sangat indah. “Sugih tanpa banda, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake”. Dan itulah Nabi, itulah beliau. Kalau nggak percaya, pelajari shirah nabawiyah dengan baik dan teliti, perluas dengan kajian sosiologi masyarakat Arab.

Juwiring, 16 Desember 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.