Kisah semalam dari rekan pejalan kehidupan di Irian Jaya. Gerakan OPM itu jangan melulu dipandang sebgai gerakan perang yang isinya cuma pasukan siap mati. Ada banyak guru yang menjadi simpatisan, yang siap menentang Jakarta dengan intelektualitasnya. Mereka memiliki argumen yang kuat atas ketidakadilan yang diberlakukan selama ini. Mereka pun berhujjah dengan pembukaan UUD 45, “bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, ….”.

Solusinya bukan didrop militer sebesar-besarnya. Bukan pula dinaikkan anggarannya (wong yo cuma akan dikorupsi). Tapi dibangkitkan rasa kebersamaannya sebagai saudara satu kumpulan bangsa-bangsa di Nusantara. Sebagai orang Jawa saya mengakui kesalahan saya masa lalu yang memandang peradaban mereka lebih rendah dari Jawa. Tidakkkk, mereka sama seperti kita yang mencintai keadilan, kejujuran, dan perdamaian.

Kini OPM menggalang dukungan dari tetangga-tetangganya untuk merdeka. Misionaris-misionaris asing, silahkan selidiki perannya. Tapi saya yakin, kaum muslimin dari Irian Jaya, yang telah bersyahadat di hadapan ust. Fadlan Garamatan dan para muasis dakwah bumi Nuu War itu akan jadi benteng pembela, mungkin juga bersama suku-suku Kristen non-evangelis, mereka siap untuk menghadapi OPM dan sekutu-sekutunya ketika perang dikobarkan.

Mari belajar dari konflik Ambon, itu perang antara umat Islam dan warga yang cinta tanah air dengan RMS dan underbownya. Di negeri ini, konflik antar agama memang sering terjadi, bahkan antar aliran juga terjadi. Tapi hendaknya dipahami latar belakang sosial dan faktor ekonomi dan politiknya. Ketidakadilan dan ketidaktegasan pemerintah menengahi permasalahan akan menjadi rapor mereka apakah sesuai dengan sila pertama dasar negara dan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 45.

Mari rumuskan solidaritas dan ukhuwah Islamiyah dengan sungguh-sungguh. Bung Karno sendiri mengakui bahwa Islam adalah salah satu elemen perekat persatuan bangsa-bangsa Nusantara ini. Jadi mari kita shalat jamaahkan kehidupan. Tidak hanya shalatnya yang berjamaah, tapi hatinya berkepentingan bahkan bermusuhan. Usai keluar masjid hati dan pikiran kita tak lagi berjamaah.

Apa kita harus jadi orang kagetan? Kedamaian itu buah dari keadilan. Maka kita hanya punya satu pilihan untuk mewujudkan keadilan, bukan berdamai-damaian. Jika kita bisa mengusahakan keadilan itu, niscaya kedamaian akan terpelihara.

Gunungkidul. 23 Juli 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.