Kalau kubu 02 lantang teriak KPU curang, ya wajar. Wong hawa-hawanya memang akan kalah. Masak iya QC itu salah berjamaah. Kan nggak lah.

Kalau kubu 01 diam dan terus memuji-muji KPU bekerja baik, ya wajar juga. Wong hawa-hawanya bakal menang. Apalagi SDM rezim turut bekerja menghalalkan segala cara.

Yang berhak menilai kinerja KPU itu rakyat. Tapi bagaimana rakyat bisa menilai, sebelum pemilu saja sudah teriak mau coblos 01, yang lain teriak coblos 02. Rakyat yang model gini ya tidak valid komentarnya.

Rakyat yang udah koar-koar pro 01, mau ngomong KPU telah bekerja dengan baik, ya nggak valid. Wong kamu nggak ada bedanya dengan timses 01. Begitu pula rakyat yang udah koar-koar pro 02, nuduh KPU curang ya muk ditertawakan, wong targetmu junjunganmu menang.

Padahal problem pemilu ini komples sejak dari birokrasinya. Di negeri ini, negara dan pemerintah tidak dibedakan dengan jelas. Masak Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Padahal KPU itu lembaga negara, tunduk sama negara. Kalau dilantik Presiden, berarti kan memang secara rasa akhirnya juga tunduk sama Presiden. Kan gendeng.

Selain itu, pemilu di Indonesia saat ini, mengikuti sistem presidensiil. Artinya KPU harus bisa menyelenggarakan pemilu untuk memilih para petinggi eksekutif dan anggota legislatif. Konyolnya, yang memilih komisioner KPU adalah anggota legislatif. Pakai akal sehat saja, jelas para anggota legislatif tentu akan memilih komisioner KPU yang bisa memuluskan kepentingan mereka.

Jadi seharusnya bagaimana KPU ini berjalan dan melakukan regenerasi? Nah, ini aslinya PR yang penting buat diselesaikan rakyat. Nek mekanismene masih seperti ini, tak jamin, setiap pemilu di mana petahana ikut jadi kandidat, pasti akan banyak masalah dan komisioner-komisioner KPU-nya pasti tidak berkualitas. Mengapa? Ya karena KPU terseret pada kepentingan pemerintah dan mengikuti selera para anggota legislatif.

Jadi, kalau merasa rakyat, sudahlah mari selesaikan problem ini, kalau mau tetap pakai sistem demokrasi elektoral. Ora sah melu-melu pro 01 atau 02. Sebab sing mengko dadi presiden ya muk salah satu dari keduanya. Ngono jik udur wae. Semakin berdebat soal itu, semakin kelihatan gobloknya. Urusan itu biar diramaikan oleh kader partai dan timsesnya saja. Sebab mereka yang punya kepentingan atas kue-kue kekuasaan itu.

Kalau menurut saya, pertama-tama jadikan perguruan tinggi itu lembaga-lembaga yang bertanggung jawab kepada langsung kepada negara. Meskipun MPR bukan lembaga tertinggi lagi, sebenarnya MPR bisa dijadikan representasi dari negara. Jadi kepala negara itu ya ketua MPR atau presidium para ketua MPR. Tapi statusnya bukan MPR jadi bosnya perguruan tinggi, perguruan tinggi harus merdeka sebagai lembaga pendidikan berdaulat. Mereka bisa memilih rektornya sendiri tanpa dicampuri para politikus. Perguruan tinggi tidak tunduk pada menteri. Nah, salah satu tugas perguruan tinggi itu membentuk badan-badan negara yang independen, seperti KPU dan Bawaslu.

Kalau ini dilakukan, mungkin para profesor dan doktor banyak yang waras dan merdeka. Tidak seperti sekarang menjadi obyek bulan-bulanan menteri ristek dikti. Masak iya, para profesor dan doktor yang mendapat amanat akademik untuk bicara berdasarkan ilmu, sering dihadapkan pada kepentingan menristek dikti. Padahal begitu dia jadi menteri, meskipun dulunya orang perguruan tinggi, maka pak menteri adalah politikus. Namanya politikus, harusnya tidak valid lagi bicara sebagai seorang akademisi.

Surakarta, 27 April 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.