Saya dulu pernah ikut jadi timses. Dan menurut penilaian saya sendiri, saya gagal total. Saya ternyata jenis timses yang buruk dan ra mutu.

Mengapa? Ternyata saya tidak pernah bisa mempromosikan sosok personal. Selalu saja ngganjel dan tidak jadi mempromosikan si A, B, C, itu orang yang top. Angel, saya sendiri tidak bisa memercayai hal semacam itu.

Akhirnya saya tidak melanjutkan lagi bergabung di dunia timses-timsesan semacam itu. Ya saya sendiri cenderung tidak ingin menilai manusia semata-mata dari kepentingan politiknya. Saya lebih nyaman jadi manusia biasa dan melihat manusia lainnya sebagai manusia juga. Kalau pun dia jadi politikus, jika saya kenal langsung, pasti saya apresiasi karena saya mengenal kesehariannya.

Hari ini, saya merasakan keuntungannya. Saya bisa mulai belajar untuk menjadi rakyat dan warga negara. Menurut saya, negara ini susah berkembang karena populasi rakyatnya terlalu sedikit. Kalau dalam sepak bola, rakyat itu bukan supporter, tapi pemilik klub, stadion, sekaligus saham PT. Liga-nya. Namanya pemilik, ya seharusnya memiliki wewenang mengatur klub, stadion, dan pertandingan liganya agar berjalan baik. Tapi, ternyata bangsa ini merasa dirinya sekedar supporter di pinggiran stadion. Setiap habis main, mereka bertengkar dengan sesama supporter lainnya. Yang nggak ikut nonton pun dihajar.

Semoga, dengan kesadaran menjadi rakyat terus tumbuh, saya bisa mewariskannya kepada anak cucu, dan siapa pun yang tertarik untuk jadi rakyat. Sebab, menjadi rakyat itu nggak enak, harus modalin dan siap nanggung rugi. Paling banyak untungnya itu jadi bandar yang mengintervensi pertandingan dan melakukan pengaturan skor. Tapi paling ra modal dewe ya jadi supporter, pokoknya hore-hore, nyoblos dan dukung terus tim kesayangan.

Surakarta, 1 April 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.