Sebagai rakyat, sebenarnya saya memaklumi kalau politikus itu mbulet-mbulet dan banyak ngibul ketika bicara. Cuma, mbok yao output kebijakannya itu tetap dijaga agar masuk akal dan proporsional gitu lho.

Kinerja pemerintah itu memang bisa dibuat laporannya dengan sangat bagus dan indah, seolah tanpa cela. Tapi namanya kebijakan pemerintah, sasarannya itu tetap publik. Jadi realita di lapangan tetap akan menjadi bukti yang sesungguhnya.

Di negeri ini, politikus itu terbiasa ngibul keterlaluan. Kita nggak terbiasa mengakui bahwa kelemahan dan kekurangan kita sangat banyak dalam segala hal, sehingga dalam pencapaian pembangunan secara fisik maupun SDM kita tertinggal jauh dari negara-negara lain.

Celakanya, rakyat kita memang dasar rakyat super nriman. Standarnya terhadap politikus sangat-sangat rendah. Saking rendahnya, asal politikus itu bisa pencitraan sangat wah, kita sudah menyanjung-nyanjungnya laksana dewa. Kalau ada yang pedas sedikit ke idola, bukan main marahnya kita. Padahal sama-sama sebagai rakyat lho.

Ketika ngibul politikus yang sangat keterlaluan itu bertemu dengan selera rakyat yang buruk dan hanya mematok standar sangat-sangat rendah, jadilah bangunan negara semacam ini. Negara yang masyarakatnya gaduh sendiri mempertengkarkan soal politikus pujaan masing-masing. Sehingga politikus yang derajatnya seharusnya babu alias pelayan dalam sistem demokrasi, menjadi berkilau layaknya raja diraja yang maha agung.

Jika sudah demikian, sebaiknya nggak usah ngomong demokrasi dengan serius. Apalagi kok serius membicarakan pemilu. Buat apa? Wong kita naif kayak gini kok.

Surakarta, 18 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.