Dalam menjaga demokrasi, oposisi memang tidak bisa diandalkan. Sebab politikus oposisi itu kepentingannya bukan demi rakyat, tapi demi gantian berkuasa.

Kalau oposisi terlihat berseberangan dengan pemerintah, motif utamanya ya agar lebih populer sehingga di periode berikutnya gantian dipilih untuk berkuasa. Prett lah kalau urusannya demi rakyat.

Maka dari itu, oposisi sejati pemerintah sesungguhnya adalah rakyat. Sangat aneh di negeri ini, banyak rakyat mengambil posisi pemuja militan pemerintah. Bagi saya, fenomena semacam ini sangat menggelikan sekaligus memuakkan.

Kalau pun rakyat itu harus memberi dukungan terhadap pemerintah, ya cuma satu saja. Menjamin tidak adanya pelengseran kekuasaan secara inkonstitusional. Selebihnya, rakyat itu seharusnya mengawasi dan kritik-kritiknya lebih pedas dari pada oposisi.

Pada rakyat, ada pers, ada akademisi, ada budayawan, ada seniman, dan serikat-serikat rakyat. Mereka semua sebenarnya kaum elitnya rakyat dan wadah kebersamaan yang bisa lantang menyuarakan berbagai kritik untuk pemerintah baik secara terbuka di publik maupun disalurkan secara sistematis ke parlemen. Tapi, apakah itu berjalan di negeri ini? Tidak, sebab pers, akademisi, budayawan, dan seniman kebanyakan partisan.

Fenomena alumni-alumni kampus yang deklarasi pro pasangan capres adalah bencana paling buruk dalam demokrasi kita. Jika kaum yang dipandang paling cerdas dan rasional saja menunjukkan kepekokan yang level dewa semacam itu, lantas bagaimana dengan rakyat yang cuma berbekal jarene-jarene untuk memutuskan pilihan dalam demokrasi. Makanya tidak heran, pemandangan hari ini isinya orang-orang partisan yang berlebihan.

Kalau yang seperti berjalan ini, namanya kan demokrasi tanpa kontrol. Prosesnya seolah-olah semacam demokrasi. Tapi pemerintah yang melaksanakan mandat bisa berbuat tanpa batas karena begitu besarnya kewenangan yang mereka miliki. Kalau pemerintah berkehendak ingin membangun jalan tol, rakyat yang tanahnya akan dipakai harus mau dibeli tanahnya, bahkan bila perlu digusur paksa. Padahal jare rakyat pemilik negara, kalau dia belum mau menjual, ya pemerintah tidak bisa memaksakan kehendak dong.

Demokrasi kita masih jauh dari harapan. Sayangnya, kita mengalami situasi yang buruk terkait SDM-nya yang menjalankan demokrasi. SDM kita belum siap berdemokrasi. Siapnya partisan dan perang menang-menangan untuk kelompoknya masing-masing.

Surakarta, 8 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.