Saya memaklumi sebagian masyarakat yang bisa berkonsolidasi dan menodong para caleg/cakada/capres untuk memberikan bantuan di muka sebelum pemilu. Sebab sistem pemilu kita saat ini masih semacam beli barang tanpa jaminan garansi. Jadi ketimbang nanti rugi di belakang, setidaknya mencicipi untung di depan.

Di beberapa negara Eropa, setiap anggota parlemen itu mendapat hak kekebalan dari intervensi partai politik. Ketika ia menjabat resmi sebagai anggota parlemen ia harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada rakyat dalam distrik yang diwakilinya. Rakyat di distrik itulah yang justru bisa melengserkannya jika kinerjanya buruk. Tapi parpol malah tidak bisa mengintervensinya.

Di Indonesia tidak demikian, hingga hari ini, caleg-caleg adalah anak buah ketum partai. Dan yang lucu adalah tidak ada kejelasan ketika seorang caleg terpilih menjadi aleg, dia itu mewakili masyarakat yang mana. Sejauh ini, para aleg mendefinisikan sendiri bahwa masyarakat yang mereka wakili adalah konstituen, yaitu kantong-kantong suara yang memberikan kemenangan pada mereka. Sehingga para caleg hanya akan memperjuangkan kepentingan mereka saja. Para pemilih caleg yang gagal, silahkan gigit jari dan tunggu 5 tahun lagi. Lebih konyol lagi, kalau caleg yang menang ternyata tidak bekerja dengan benar, rakyat yang memilihnya pun juga tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak dapat melengserkannya.

Tanpa ada perbaikan sistem kesepakatan antara rakyat dengan wakil rakyat dan pembagian wewenang parlemen dengan pemerintah secara lebih jelas dan lebih berimbang, mau kita pemilu sampai 100 kali lagi, tidak akan ada perubahan yang berarti. Dan jika Anda masih percaya dengan aturan pemilu yang semacam ini tanpa ada upaya pengajuan revisi regulasinya, yo sebenarnya kita semua cuma menyianyiakan anggaran pemilu.

Surakarta, 7 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.