Di AS, sejak 1990-an golput selalu menjadi pemenang pemilu, sebab selalu mendekati 50 %.

Di Indonesia, golput baru merebut 30% saja, para timses sudah pada ribut tuding sana sini.

Mungkin perlu digalakkan sekalian, dari pada sibuk pemilu untuk para-para di atas. Mending sukseskan pilkades dan bangun desa masing-masing agar mandiri.

Kalau nanti desa-desa sudah mandiri dan berdikari, baru kerasa bahwa negara itu janjane cuma ngrepoti saja. Dari dulu, desa-desalah yang menghidupi para penguasa besar itu. Hidup mati negara, ada di tangan desa-desa.

Para politikus dan anak buahnya gelisah dengan fenomena ini. Mereka butuh legitimasi yang besar dari rakyat agar bisa berkuasa. Padahal seandainya pemilu cuma diikuti mereka sendiri, ya mereka tetap akan berkuasa kok. Tapi kan lucu, makanya mereka tidak mau menanggung malu.

Jadi, sebagai rakyat mbok mending mikir betapa besarnya kekuatan kita. Demokrasi itu mengembalikan supremasi kedaulatan sipil setelah dulu supremasinya ada pada raja-raja dan bala tentaranya. Jangan tanggung-tanggung kalau berdemokrasi. Jare berdemokrasi kok isih kubu-kubuan ala cebong dan kampret.

Berdemokrasi itu setiap gundul punya kebebasan untuk berpendapat tetapi sekaligus mengambil keputusan. Apa iya, pilihannya cuma cebong dan kampret, buktinya Nurhadi – Aldo saja bisa muncul.

Surakarta, 24 Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.