Kekuasaan dan kepemimpinan itu dua hal yang berbeda.

Kekuasaan itu pendekatannya kekuatan dan “pemaksaan” kehendak.

Kepemimpinan itu pendekatannya keteladananan dan pancaran kebaikan, sehingga layak diikuti.

Seorang pemimpin belum tentu bisa menjadi penguasa. Seorang penguasa juga belum tentu bisa menjadi pemimpin.

Demokrasi itu bicara soal kekuasaan, bukan kepemimpinan. Demokrasi itu urusannya tentang penyerahan mandat pengelolaan kuasa dari rakyat kepada politikus.

Dahulu, untuk mendapatkan kekuasaan, seseorang harus berperang dengan manusia lain yang juga ingin berkuasa. Ada yang tarung hidup mati, ada yang kemudian mengakui kekuasaan yang lain, ada pula yang bekerja sama untuk berkuasa.

Orang-orang yang haus kekuasaan ini, pada dasarnya mencabut paksa hak-hak kuasa dari manusia lainnya jika para manusia dalam hatinya tidak rela dikuasai oleh si penguasa. Itulah mengapa para penguasa yang tidak mampu berbuat adil pasti akan masuk neraka, sebab ia menanggung laknat dari manusia lain yang secara paksa dirampas hak-hak kuasanya.

Dengan adanya demokrasi, gagasan kekuasaan diselenggarakan secara bersama-sama. Artinya, manusia diajak untuk bersama-sama membangun kekuasaan. Tapi tentu saja tidak semua menjadi pelaksananya, maka mandat kuasanya secara sadar diwakilkan pada orang-orang yang dianggap mampu melaksanakannya. Makanya dipilih salah satu caranya dengan pemilu. Pemilu itu layaknya undian secara rahasia dari sekian orang yang di/mencalonkan, kelak terpilih beberapa untuk menjadi penguasa sah.

Konsekuensi dari hasil pemilu adalah rakyat sadar bahwa ada hak-hak kuasa dalam dirinya yang diserahkan kepada para politikus yang berkuasa. Karena ini sifatnya transaksional, sudah seharusnya si pemberi mandat kekuasaan seharusnya skeptis dan kritis kepada para politkus yang mendapatkan mandat itu. Sebab kalau rakyat tidak skeptis dan tidak kritis, ia tidak ada bedanya dengan orang-orang di zaman kerajaan yang mau-maunya diperintah seorang raja, padahal sang raja tidak adil.

Jadi sungguh aneh, dalam sistem yang sudah disepakati demokrasi, masih banyak rakyat kok menyanjung-nyanjung para politikus junjungannya. Ia bukan pemimpin, ia adalah pelaksana mandat kekuasaan yang sudah kita serahkan pada mereka. Seharusnya kita mengontrolnya agar tidak diselewengkan seenaknya. Rakyat yang baik, harusnya punya standar tinggi tentang kekuasaan sehingga tidak mudah puas dengan kinerja para politikus. Apalagi sistem pemilu kita itu para politikus mencalonkan diri, artinya mereka meminta mandat. Masak iya, sudah diberi mandat kok malah dipuja puji, harusnya mereka lebih layak dimaki kalau kinerjanya tidak sesuai standar minimal kita.

Ada pun soal pemimpin, ia sama sekali tidak terkait dengan kekuasaan. Sebab pemimpin itu urusannya soal kualitas personal yang layak ditiru dan diikuti oleh yang lainnya. Ada kalanya kita beruntung jika seorang yang berkapasitas pemimpin ternyata juga mendapatkan kesempatan untuk berkuasa. Biasanya di tangan orang-orang seperti ini, kehidupan manusia akan sangat baik dan ideal. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa hampir mendekati mustahil seorang pemimpin bisa menjadi penguasa hebat. Setahu saya, hanya Nabi Sulaiman yang disebut-sebut sebagai pemimpin sekaligus penguasa yang super hebat. Selebihnya, para pemimpin tidak pernah mampu mencapai kemegahan kekuasaan meskipun dia menjabat posisi penguasa.

Jadi pemilu 2019 besok itu memilih pemimpin atau penguasa? Penguasa. Padahal hidup itu yang utama adalah memimpin. Maka yang lebih prioritas adalah mendidik diri agar menjadi pemimpin. Referensinya adalah dengan melihat manusia lain yang layak diikuti kualitas kemanusiannya, baik yang sudah menjadi bagian dari sejarah atau yang sekarang masih hidup. Soal kekuasaan, sebenarnya itu opsional saja. Sebab manusia tidak harus membuat negara juga, selama mereka bisa hidup dalam interaksi yang wajar satu sama lain.

Negara bukan harga mati. Apalagi kekuasaan di dalamnya. Sebab sudah terbukti negara itu timbul tenggelam dalam sejarah. Ia berdiri, kemudian runtuh. Biasa saja. Yang penting adalah kehidupan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang menyertainya, karena manusia adalah pantulan-Nya. Jadi, merawat kemanusiaan semestinya lebih penting ketimbang bertengkar dalam urusan kekuasaan.

Dengan adanya pertengkaran menjelang pemilu, tandanya kita sebenarnya tidak sedang menegakkan kepemimpinan dalam diri kita. Kita tidak bisa memimpin diri sendiri dan barangkali juga memang tidak memiliki pemimpin yang bisa diikuti. Setiap kita adalah orang-orang yang bernafsu untuk berkuasa atau malah sekedar orang-orang bodoh yang mau diperalat para calon penguasa.

Surakarta, 23 Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.