Sepakat berdemokrasi itu, siap dapat wacana aneh-aneh dan harus bisa merespon dengan elegan. Kalau siapnya kepruk-keprukan ya bikin negara gengster saja lah.

Tafsir demokrasi Barat yang dijalankan di negeri ini mau tidak mau menggiring para elit untuk bertanding menang kalah. Melanggar sila keempat Pancasila? Menurut saya jelas. Karena demokrasi berbasis elektoral itu sangat bertentangan dengan prinsip musyawarah.

Dengan mengadopsi demokrasi Barat yang merupakan solusi atas masa lalu mereka yang perang menang-menangan, memang akan menghasilkan konflik horizontal menang kalah. Karena pada dasarnya bangsa kita dulu kerajaan dan memang hobi caplok-caplokan. Sehingga dengan bergesernya tradisi dari musyawarah ke demokrasi elektoral, ya secara sosial akan mendorong masyarakat kita untuk saling bertengkar, terutama jika trigernya Pilpres kayak sekarang.

Tidak menutup kemungkinan di masa depan konflik horizontal yang mengerikan benar-benar akan terjadi ketika para ekstrimis gerah dan menebarkan provokasi hoax di mana-mana. Ekstrimis ini selalu ada di setiap organisasi apa pun. Mereka yang hobi memaksakan pendapatnya dengan menghalalkan segala cara. Apalagi mengingat buruknya daya baca dan tingkat pemahaman masyarakat kita dalam menyerap informasi. Lebih payah lagi, tokoh-tokoh agama yang diharapkan menjadi penyejuk umat, lebih sering terseret provokasi dan bahkan sering jadi provokator perang itu sendiri.

Jika ingin mencegah konflik itu terjadi, maka sejak sekarang kita harus mendorong lahirnya musyawarah kembali. Kalau pun secara negara tidak mampu, ya kita cicil dari interaksi pertemanan dan organisasi yang kita ikuti untuk selalu menggunakan pendekatan musyawarah. Dalam musyawarah tidak ada kubu “kami” dan “mereka”, adanya cuma “kita”. Kita punya kepala dan pikiran sendiri-sendiri tapi harus tahu diri. Yang bisa disepakati dijalankan sama-sama, yang tidak bisa disepakati haruslah saling menghormati dan saling menahan diri dari interaksi yang merugikan salah satu pihak.

Tentu saja, membangun musyawarah hari ini awang-awangen dan sulit. Sebab dari orok, kita terdidik untuk hidup berkompetisi dan menang-menangan. Dan itu cukup berat untuk membawa kita sadar pentingnya musyawarah. Apalagi acara-acara yang tajuknya musyawarah, isinya lebih banyak persaingan kekuasaan ketimbang musyawarah dalam arti yang sebenar-benarnya.

Kalau cuma gini-gini aja, ya demokrasi dengkul lah. Mungkin ada benarnya kata Rocky Gerung, demokrasi kita saat ini demokrasi tanpa pikiran. Demokrasi yang kosong dari substansi yang sesungguhnya. Isinya cuma baper dan kubu-kubuan. Parade-paradean dan segala bentuk tindakan runyam yang mengancam keselamatan sosial anak cucu kita di masa depan.

Surakarta, 29 November 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.