Partai-partai politik sudah semakin pandai bagaimana berkembang biak, mencangkok diri, dan berokulasi. Rakyatnya dari dulu pemahaman demokrasinya tidak beranjak. Masih tetap bermain di posisi pro dan anti dalam kubu-kubu politik.

Padahal rakyat itu asline ndak punya urusan soal persaingan parpol. Rakyat itu ya fokus menikmati hidup dan keguyubannya. Tapi karena perlu ada pemerintahan yang mengatur, rakyat secara periodik perlu memilih pihak yang bisa diberi mandat. Habis itu rakyat ya berdiri bersama memantau layanan dari pemerintah.

Kalau tidak memuaskan ya kompak protes. Lagi pula rakyat sudah bayar pajak macam-macam gini, kok gampang puas dengan layanan pemerintah. Kok bisa-bisanya gampang memuji pemerintah. Termasuk oposisi itu kalau kritikannya bukan terkait program pemerintah yang berjalan, tapi sibuk bikin pernyataan politik melulu, ya harusnya diingatkan. “Nek ameh kampanye tunggu jadwale, aja kakehan nggedebus saiki.”

Golput itu bukan fenomena yang buruk dalam demokrasi. Karena golput bisa terjadi kalau memang tidak ada yang layak dipilih menurut si pemilih. Yang buruk dalam demokrasi adalah kalau rakyat terjerumus pada perkubuan sehingga ia justru terperangkap pada permusuhan sesama rakyat hanya gara-gara beda pihak yang didukung. Itu baru demokrasi buruk. Dan apa yang terjadi di Indonesia ini adalah demokrasi yang buruk, sebab rakyatnya tidak menjadi rakyat, tapi cuma jadi pendukung ke sana ke mari.

Semoga bangsa ini tidak bernasib sial seperti Afghanistan dan bangsa Arab pada umumnya yang kalau berantem dengan sesamanya, segera bersekutu dengan negara-negara produsen senjata. Entah logika macam apa yang ada di kepala bangsa-bangsa itu sehingga mereka sangat senang bunuh-bunuhan tanpa henti.

Surakarta, 31 Juli 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.