Mencuatnya berita soal Jokowi mengimami shalat di Afghanistan dan Anies bertemu Erdogan menjelang shalat Jumat sebenarnya hanya indikator bahwa masyarakat kita terbiasa mencampuradukkan hal-hal yang bersifat personal dengan urusan publik.

Shalat itu mau munfarid atau berjamaah, esensinya tetap persoalan personal. Jadi seharusnya kita sebagai umat Islam yang meyakini akan kewajiban shalat ya fokus saja menjalankan tanpa harus membanding-bandingkan shalat kita dengan orang lain. Karena shalat itu adalah kebutuhan personal.

Yang dibutuhkan secara sosial adalah efek dari shalat itu. Banyak efek-efek yang seharusnya muncul dari orang-orang yang shalat. Al Quran mengidentifikasi banyak hal atas perkara itu, misalnya menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Jadi kalau sudah shalat, maka outputnya dituntut secara sosial agar demikian.

Hanya nalar publik kita menjadi sedemikian aneh. Lho apa istimewanya Jokowi jadi imam shalat di sana? Peristiwa shalat berjamaah itu yang terpenting adalah pada proses berjamaahnya kok, bukan siapa imamnya dan siapa makmumnya. Kalau yang dipentingkan siapa imam dan makmum, jadinya seperti sekarang ketika banyak anak hafiz ternyata ingin jadi imam biar dapat penghormatan. Hal itu sampai membuat Ust. Nouman Ali Khan bersuara keras mengkritik kebiasaan buruk ini.

Demikian pula pertemuan Anies dengan Erdogan sebelum shalat Jumat, ya biasa saja. Mereka shalat Jumat sebagai manusia-manusia kok, bukan lagi sebagai gubernur dan presiden Turki. Mana ada tugas gubernur dan presiden untuk shalat. Ini yang penting dipahami, sehingga masjid itu tetap menjadi sesuatu yang sakral bagi umat Islam. Di luar masjid silahkan jadi apa pun, tapi begitu memasuki masjid, kita hanyalah manusia satu sama lain dengan menghadap Tuhan yang sama, yang punya urusan akhirat masing-masing dengan beberapa tanggung jawab interaktif sesama mereka selama di dunia.

Ini bukan cara berpikir sekuler, justru ini sebuah urutan cara berpikir agar kita tidak menjadikan ukuran shalat lahir seseorang sebagai indikator kita menilai kompetensi orang lain. Penyelenggaraan pemerintahan itu adalah sesuatu yang sifatnya administratif dan rasional terukur, maka ia tidak berhubungan langsung dengan urusan shalatnya. Program tetaplah program yang bisa dinilai secara akademik. Jadi jangan menjadi tolol gara-gara melihat para elit pencitraan dengan simbol-simbol keagamaan lalu itu semua menjamin kompetensinya oke.

Yang bisa dilihat dari efek shalatnya adalah bagaimana para politisi ini menjalankan amanatnya dengan baik atau tidak. Kita bisa merasakan bersama-sama kok, para politisi negeri ini sebenarnya sedang memikirkan para pemberi mandatnya atau sibuk dengan urusan dirinya sendiri dan golongannya. Dan jawabannya sudah jelas, jelas sekali. Saya tidak perlu menguraikan panjang lebar soal itu.

Akhirnya, kalau mau adil dalam melihat masalah, kitalah sebenarnya kontributor masalah terbesar itu sendiri. Kita tidak bisa membedakan hakikat kita sebagai abdi-Nya dan implikasinya dalam peran gubernur, presiden, suami, anak, orang tua, dll. Kita menyangka bahwa kalau seorang yang berlabel jenderal kelon dengan istrinya, statusnya tetap jenderal. Ya nggak, dia saat itu menjalankan fungsi kejantanannya. Maka demikian pula ketika seorang yang berlabel presiden mantu, dia saat itu menjalankan fungsinya sebagai orang tua. Maka, ketika para pejabat dan petinggi negara itu shalat di masjid, mereka manusia-manusia seperti kita. Maka sangat konyol kalau kita memberi tempat istimewa pada mereka ketika ke masjid, padahal datangnya belakangan. Apalagi malah sejak awal sudah memberi tempat kosong di shaf paling depan. Mbel sekali.

Surakarta, 28 April 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.