Merealisasikan hubbul wathan di era nation state (negara bangsa) itu lebih susah dibandingkan di zaman kolonial.
Kalau di zaman kolonial, kaum kolonial dan pribumi yang pro mereka dengan mudah diidentifikasi. Apalagi mereka berlainan keyakinan dengan kebanyakan pribumi, sehingga para ulama dengan mudah menyerukan jihad melawan orang kafir.
Lha kalau sekarang, pemerintahnya resmi. Mereka juga melindungi sebagian hak-hak masyarakat sambil merampok habis-habisan kekayaan negeribersama dengan para kapitalis. Wajah kapitalis yang merupakan jelmaan kolonial masa lalu aman terlindung dengan undang-undang dan jaminan dari pemerintah resmi.
Belum lagi para ulama berbeda pendapat dan sibuk dengan konflik internal sesama umat Islam seputar eksistensi ormas, madzhab, dll yang berkaitan dengan akses mereka di kekuasaan dan fasilitas dari pemerintah. Rakyat yang seharusnya berpedoman pada al Quran dengan memberesi urusan keluarga dan lokalnya, sekarang semua ditarik energinya untuk kubu-kubuan ormas, parpol, hingga urusan Jakarta yang ruwet itu. Sungguh aneh, kita yang hidupnya harus bertahan, disuruh ikut memikirkan Senayan dan Istana.
Sementara itu, rakyat tetap ndlongop dan terjajah dari masa ke masa. Bedanya dulu dijajah fisik sehingga langsung kerasa. Sekarang ditipu dan dibuat pusing dulu pikirannya lewat sekolahan, kemudian disuruh setoran ini itu dan beli ini itu secara tidak wajar. Sehingga sekarang bahkan tidak yakin kalau sebenarnya masih dijajah dan dirampok gila-gilaan. Kalau ada yang bilang kita sedang dirampok, malah si pemberi peringatan yang disalah-salahin.
Maka betapa pusingnya para ulama sejati masa kini merumuskan perjuangan seperti dulu. Wong yang disakiti merasa tidak sedang disakiti. Yang disuguhi tai merasa sedang mendapat hidangan roti. Piye jal? Ruwet to. Hahaha
Juwiring, 13 Oktober 2017