Turki adalah inspirasi tentang bangsa yang ingatan kolektif akan sejarahnya kuat. Mereka masih menyimpan memori kebesaran Kesultanan Turki Utsmani yang membuat mereka dipilih Allah menjadi penakluk kota Konstantinople (saat itu Turki msh berstatus sbg kerajaan di bawah kekhalifahan), kemudian diangkat menjadi pemimpin umat Islam setelah kekhalifahan Baghdad tak mampu meneruskan.

Mereka adalah potret bangsa modern di masanya yg masih mewarisi jiwa-jiwa pendahulunya dengan baik. Sehingga sekalipun pernah disekulerkan oleh Kemal Attaturk dengan model sekulerisme ekstrim ala Perancis, ingatan sejarah tentang kebesaran mereka tidak hilang. Hingga tiba saatnya generasi-generasi pembaharu menjembatani ingatan sejarah itu. Mau dengan pendekatan demokrasi sekalipun, itu tak jadi soal karena ingatan sejarah kebesaran bangsa tidak akan lenyap begitu saja.

Maka tak heran jika AKP yang baru berdiri mampu meraih suara paling besar, karena para pejuangnya tahu apa yang dibutuhkan masyarakat Turki. Mereka hadir dengan cahaya kekhalifahan yang pernah ada. Mereka menawarkan bukti sekaligus visi tentang Turki yang melanjutkan kebesaran leluhur mereka sebagai pemimpin umat Islam dunia. Ini bukan soal demokrasi dan khilafah, ini soal ingatan kolektif tentang sejarah.

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ini teramat payah merumuskan sejarahnya. Masa kolonialisme telah menciptakan dikotomi yang tajam hingga menghasilkan masyarakat yang berpandangan Barat dan yang berpndangan lokal. Namun apesnya pemerintahan yg ada jg tetap melanjutkan tradisi kolonial hingga hari ini. Dan bangku sekolah di Indonesia hari ini tetap melanjutkan tradisi berpikir Barat yang semakin usang itu, artinya beberapa tahun lagi kita masih harus bersabar dengan generasi yang cara berpikirnya inferior. Memuja kemajuan barat, merendahkan peninggalan ilmu leluhurnya sendiri.

Ditambah lagi, arus informasi yang dahsyat membuat generasi muda hari ini cenderung mengadopsi pemikiran-pemikiaran dari luar secara mentah-mentah. Tidak diolah dan dikonfigurasi ulang dengan kearifan masyarakat Nusantara. Maka tak heran jika Syarikat Islam yang sempat menakutkan pemerintah kolonial, akhirnya lemah karena perbedaan yang sudah tak bisa dijembatani. Dan itu terus berlangsung hari ini, mau ormas Islam atau parpol akan terus diadu domba dengg informasi-informasi instan yg menyeret umat Islam sibuk berdebat satu sama lain. Sampai-sampai kalau sholat, bukannya fokus pada Allah tapi sibuk ngeliatin saudaranya mulai dari cara takbirnya sampai menjulurkan telunjuknya, lalu diceramahin macam-macam.

Masih mau diteruskan ini? Kerusakan logika berpikir kolektif bangsa ini membuat kita tak bisa lagi menilai setiap peristiwa yang berlalu dan tak mampu mengingatnya lagi. Maka dalam berdemokrasi pun, tak jelas siapa yang mau dipilih, tak jelas berdemokrasi untuk apa, dan rakyat pun tak mengerti bahwa wakil rakyat dan pemerintah itu kacung mereka, justru mlh disembah2nya. Itu bedanya Indonesia dengan Turki, baik dalam soal rakyat dan pemimpinnya.

Pemimpin Indonesia bukan Erdogan. Erdogan adalah pemimpin hebat untuk Turki dan inspirasi bagi para pemimpin di Indonesia. Jadi mari kita rumuskan dg benar kepemimpinan negeri ini scr otentik, tidak copas sana copas sini. Pemimpin yang sejiwa dg ruh bangsa dan alam negerinya sendiri seperti masa keemasan Mataram, Demak, Majapahit, Sriwijaya, atau jauh yang lebih lama dari itu.

Selamat pagi!

Surakarta, 14 April 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.