Seringkali Mbah Nun mengulang-ulang pernyataan, “kalau model demokrasi semacam ini diterus-teruskan, maka jangan harap akan lahir pemimpin sejati seperti yang dicita-citakan.” Saya renungkan betul kata-kata beliau, apa substansi dari pernyataan itu. Lalu apa relevansinya dengan problem kepemimpinan di negeri kita.
Akhirnya saya tertawa keras setelah menemukan salah satu bentuk kekeliruan cara berpikir kita yang serius, yakni metodologi memilih pemimpin. Kita sibuk berdebat dengan istilah atau label cara memilih pemimpin, tapi tidak memperhatikan substansinya sama sekali. Debatnya nggak mutu, seputar demokrasi vs khilafah. Padahal itu kan cuma label saja. Nah, berkaitan dengan model demokrasi yang kita pakai sekarang, dulu saya berpikir bahwa model ini bisa mengantarkan kita bertemu dengan pemimpin yang diidamkan. Ternyata mbelgedes. Masalahnya bukan pada label atau istilah demokrasinya, tapi substansi praktiknya memang mustahil untuk memilih pemimpin yang pasti bagus.
Mari kita kupas. Sistem pemilihan pemimpin di negeri kita berlangsung lima tahun sekali. Itu sudah disepakati bersama dan kita tidak menerima alternatif lain yang konstitusional. Maka mau tidak mau ya harus ada pemilu. Penyelenggara pemilihan pemimpin ini adalah KPU yang bekerja dengan mengacu pada Undang-Undang Pemilu. Dan kelucuan mulai dapat kita temukan ketika lembaga ini dan perangkat lainnya memulai pekerjaannya. Yang lucu bukan lembaganya, bukan pula pegawainya, tetapi rangkaian peristiwanya.
Pertama, siapa pun yang ingin menjadi pemimpin tinggal mendaftar ke KPU jika waktunya tiba. Syarat-syaratnya normatif dan dapat dipenuhi setiap orang. Untuk menunjukkan eksistensi dan agamanya, cukup diwakili KTP. Untuk menunjukkan kapasitas intelektualnya, cukup diwakili ijazah dan aneka sertifikat. Untuk menunjukkan kualitas moralnya, cukup diwakili surat berkelakuan baik plus sedikit pemeriksaan medis. Dan untuk hal-hal lain seperti itu. Bahkan kualitas kepribadiannya cukup dibuktikan dengan menjalani rangkaian psikotes yang tidak lebih dari satu pekan. Gampang kan. Berminat? Silahkan daftar.
Kedua, dengan syarat-syarat normatif tadi, KPU memutuskan seorang calon lolos verifikasi. Selanjutnya adalah memasuki tahap kampanye. Dalam kampanye, pernahkah kita menemukan timses yang membawa pamflet atau selebaran yang berisi kelebihan dan kekurangan calon? Pasti nggak ada. Isinya pasti kelebihan calon yang entah benar entah dikarang biar kelihatan keren. Kampanyenya pun bersifat satu arah, yakni si calon atau timses mempromosikan dirinya. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk menguji intelektual, emosional, dan spiritual si calon. Misalnya di saat kampanye si calon di tes mental dengan sebuah kondisi di mana saat kampanye, rakyat misuh atau melempari kotoran diperbolehkan untuk melihat ketangguhan calon. Adakah prosesi kampanye seperti itu? Tidak bakal ada. Nah, kampanye simpel kan. Tidak menjadi hal yang penting seberapa besar rakyat mengenal, yang penting calonnya sudah kampanye.
Ketiga, ketika pemilihan pemimpin, cara memilihnya juga lucu. Rakyat yang mengenal betul calon pemimpin (baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual) diberi proporsi suara sama dengan rakyat yang tidak tahu apa-apa tentang si calon maupun tentang pemerintahan. Artinya, tidak penting Anda tahu apa tidak si calon, yang penting dalam hitungan detik, putuskan siapa calon yang akan dipilih. Yang merasa sangat tahu si calon, nilainya sama dengan yang tidak kenal blas sama si calon. Nah, simpel sekali kan. Akhirnya terpilih pemimpin secara demokratis melalui tiga tahapan itu. Mudah, cepat, dan selesai.
Dengan tiga tahapan yang sangat sederhana dan praktis itu, kita kemudian berharap dikaruniai pemimpin yang amanah, jujur, dan adil. Itu lah puncak ledakan tawa yang bikin saya hampir ngompol. Lha iya, wong untuk mendapatkan karunia anak sholeh saja butuh tahapan panjang kok, mulai dari mensholehkan diri dulu, lalu mencari calon yang juga shalihah, lalu menikah dan menjalani kehidupan sebaik-baiknya, lalu mendidik sang anak dengan maksimal, itu pun masih tetap terus berharap pada Allah kok. Nah, ini mau memilih pemimpin bangsa, metodenya kok malah lebih simpel dan waktunya singkat, tidak ada setahun, itu pun titik krusialnya cuma dalam hitungan detik. Lalu berharap diperoleh pemimpin yang top markotop, saya yakin para semut, kecoa, hingga kukang bakal ikut ketawa juga menyaksikan parade aneh semacam ini. Betapa pekoknya bangsa manusia itu. Hahaha
Makanya, ya sudah, setiap 5 tahun pemilu hasilnya begini-begini saja ya santai saja to ya. Harusnya tuh bersyukur, dari ribuan kali pemilu, ada beberapa yang bagus. Misalnya, kemungkinan besar kita sepakat kalau Pak Ridwan Kamil dan Prof. Nurdin Abdullah, adalah salah dua dari beberapa butir keberuntungan hasil “judi” demokrasi selama ini. Kalau setiap pemilu dengan metode sesimpel ala KPU tadi, ya wajar dong kalau setiap saat dihasilkan pemimpin yang tidak sesuai harapan. Lha wong siapa saja boleh daftar, syaratnya gampang, kampanyenya pencitraan, keputusan pemilihan dalam hitungan detik saja. Mosok do menggerutu, kan aneh. Dan anehnya, nanti kita ikuti lagi putaran pemilu dengan penuh harap, padahal metodenya tidak ada perubahan secara mendasar. Dan kita tetap mau saja melakukan pemilu, tanpa menuntut perubahan aturan mainnya dulu. Lucu kan, bertahan pada kerusakan.
Maka solusinya dua. Pertama, mari rembugan untuk evaluasi dilanjutkan revisi cara memilih pemimpin. Misalnya komponen uji verifikasinya diperberat. Mula-mula, diumbar di salah satu Taman Nasional selama 1 tahun dimodali belati. Kalau pulang dengan selamat, dites lagi untuk menyelesaikan problem masyarakat yang sedang berkonflik. Kalau berhasil, dites lagi hidup jadi gelandangan selama 2 tahun, hartanya dibekukan sementara kecuali sekedar menghidupi anak istri, dan wajib keliling Indonesia. Kalau selesai masa nggelandang, baru dinyatakan lolos dan bisa kampanye untuk dipilih sebagai pemimpin. Maka insya Allah calon-calon pemimpin kita keren pol. Atau solusi yang kedua, mari kita terus-teruskan metode pemilu yang mahabenar ini, yang sabar dan telaten. Besok si koruptor kampanye, kita pilih lagi. Pokoknya 5 tahun itu rutinitas untuk memulai penderitaan yang penuh kenikmatan. Terus lipatgandakan kesabarannya. Toh tai kalau dinikmati terus lama-lama rasanya bisa seperti roti juga. Hahaha
Kesimpulan akhirnya, kebanyakan kita memang mengalami kerusakan nalar serius di berbagai bidang. Saking kompleksnya, setiap hal yang kita kira solusi, ternyata sumber masalah baru. Nah, kalau soal memilih pemimpin bangsa, sudah pasti saya sering keliru. Wong memilih calon istri saja belum final sampai sekarang, apalagi kok memilih pemimpin bangsa. Makanya dari pada pusing kepala, mari ndagel saja. Hahaha
Patuk, 19 September 2016