Saya masih memercayai bahwa permainan adu domba dengan berbagai isu dan lahirnya kelompok-kelompok ekstrimis radikal dalam beragama adalah kerjaannya para intelijen, baik intelijen kita sendiri maupun intelijen asing yang mau mengacak-acak negeri ini.
Karena kalau rakyat adem ayem, ekonomi stabil, bersatu dan cinta damai, maka fungsi pemerintahan yang “terkendali” akan melemah dengan sendirinya, dan tumbuh pemerintahan rakyat yang sebenarnya. Kan kalau kehidupan sudah adem ayem, kampanye politik menjadi tidak menarik dan perampokan sistemik menjadi susah dilakukan, selain itu tentara akan susah diperalat untuk melakukan tindakan represif.
Apalagi bangsa Indonesia telah membuktikan ketangguhannya. Meskipun pemerintahnya tidak karuan, kita ya tetap santai, nyengir, dan tetap ngekek-ngekek sampai sekarang. Tentaranya juga paling keren padahal sudah diembargo senjatanya. Rekor sniper dan berbagai prestasi menembak, tentara kita jagonya. Kalau bangsa semacam ini sampai bersatu utuh dan kokoh, bisa dibayangkan bagaimana berwibawa dan ampuhnya bangsa Indonesia memayungi dunia.
Bayangkan kalau super powernya dunia beralih ke Indonesia, lalu setiap bangsa diajari dagelan dan guyon. Setiap mau ada perang langsung diajak berunding, guyonan lagi, ga jadi perang. Pabrik-pabrik senjata di Amerika, Rusia, dan Eropa kan bisa gulung tikar. Di samping itu kalau terlalu damai, buminya padat karena setiap orang bisa hidup damai dan beranak banyak. Kan tiap malam bisa rajin bikin PR.
Tapi karena sifat jahat itu sudah sepaket dengan sifat baik yang diinstall sejak penciptaan manusia ya resiko ada manusia berbuat jahat di bumi ya wajar. Saking jahat dan rakusnya, jangan sampai penduduk bumi terlalu banyak, soalnya jatah kekayaannya bisa menipis dan jangan sampai perusahaan senjata mangkrak. Maka ya dicobalah diadu domba, lumayan ratusan juta orang tewas di Perang Dunia. Kemudian kecil-kecilan sampai sekarang jutaan orang mati setiap tahun. Kita sedih, tapi mereka yang suka mainan tembak-tembakan itu, apa sedih?
Begitulah hidup yang penuh misteri ini. Jangan terobsesi perang, apalagi membunuh orang. Karena menjalani perang yang syar’i itu susah, banyak pantangannya. Apalagi mengalahkan musuh tanpa nafsu dan kebencian, lebih mustahil lagi. Tapi itulah yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Nah kalau tidak mampu seperti itu, ngapain juga sok-sok teriak perang. Emang siap? Karena kalau terlanjur ada perang, kemungkinannya cuma 2, mati syahid atau mati sangit.
Maka saya berbaik sangka bahwa kesyahidan lebih dekat dengan rakyat Yaman dan Suriah yang mendengar nasihat para ulamanya untuk berdiam hingga terbunuh atau mempertahankan tanah airnya, tanpa punya kepentingan politik pragmatis dengan para pemberontak/asing maupun menjadi herdernya pemerintah. Wafat karena mencintai kedamaian atau mempertahankan tanah air karena berterima kasih pada Allah telah dilahirkan dan dibesarkan di sana, itu yang menurutku sebenar-benarnya jihad.
Solo, 9 September 2016