Ini bagian terakhir dari status-status panjang malam ini. Ada banyak kisah nyata di masyarakat yang membuat saya bahagia bahwa masih banyak rakyat yang berperan menjadi rakyat. Artinya masih banyak manusia di muka bumi yang berjuang demi harga diri kemanusiaannya. Mereka lebih besar dari negara, sehingga mereka mampu mencintai negara dan negeri ini dengan cara mereka masing-masing. Karena negara itu dibuat untuk tujuan memakmurkan manusia, maka kalau negara tidak berbuat itu, ya sudah kita berbuat untuk itu. Kan ceritanya alat yang kita bikin mejen, ya biarin mati saja kalau diperbaiki sudah susah.
Misalnya dalam pendidikan, ada seorang tokoh nasional bidang kemanusiaan yang membuat sekolah di Bantul. Beliau sudah menolak konsep sekolah saat ini yang tidak lebih menjadi alatnya industri memproduk calon pekerja, bukan pengabdi bangsa. Maka beliau menggunakan akal sehatnya dengan mengajak musyawarah beberapa orang tua yang punya kesadaran akan pendidikan yang ideal bagi anak mereka. Disepakatilah pendirian sekolah dengan konsep yang merdeka, karena sekolah itu ya urusannya rakyat yang harus mendidik generasinya sendiri. Kalau negara mau ikut campur ya manut rakyat, jangan rakyat yang suruh ngikut negara.
Berdirilah sekolah itu dengan cara yang unik. Kurikulumnya mandiri, manajemennya juga khas. Akhirnya sekolah ini menjadi cukup dikenal. Seperti biasa, ia mulai dilirik banyak orang tua. Jika sekolah lain menyeleksi anak yang akan bersekolah, sekolah ini menyeleksi orang tuanya. Karena pendidikan itu kuncinya pada orang tua dan guru. Setelah sekolah menyiapkan guru yang bagus, maka pihak orang tua yang menjadi partner sekolah juga harus sejalan dengan visi sekolah. Anak-anak tidak punya masalah, karena mereka adalah produk sempurna dari Allah. Yang sering membuat anak bermasalah ya orang tua dan lingkungan di sekitarnya. Makanya sekolah melakukan penanganan pada orang tua dahulu, sebelum menerima anak-anaknya. Aneh kan. Tapi menurut Anda benar atau tidak langkah ini?
Yang lebih keren lagi adalah ketika suatu saat sekolah ini ditinjau pemerintah Kabupaten dan ditanyakan izin operasionalnya. Sang pendiri menjawab dengan cerdas. Kira-kira ilustrasinya seperti ini,
B : “Sekolahnya sudah ada izin operasionalnya?”
P : “Lho izin ke siapa?”
B : “Ya ke dinas pendidikan?”
P : “Lho apa hubungannya dengan dinas pendidikan kok saya yang harus izin ke sana, pendidikan kan kebutuhan masyarakat. Izin itu kan karena saya percaya pada pihak yang saya mintai izin. Lha kepentingan saya kan dengan masyarakat, saya sudah minta izin ke mereka.”
B : “Tapi aturannya kan begitu Pak”
P : “Situ negara apa toko? Kalau memang negara merasa penting harus ada izin dari kegiatan masyarakat yang sudah berjalan, ya negara dong yang datang mengurus. Kok kita yang disuruh lapor. Emang bosnya siapa, situ apa kami?”
B : “Baik Pak, besok kami uruskan izinnya.”
Nah kalau kita berani menuntut hak pendidikan kita dengan merdeka, apa tidak mungkin negara ini nanti juga akan mulai membaik. Tapi apa hal itu mudah? Jelas tidak. Menyadarkan orang sedusun saja untuk berpikir waras semacam itu susahnya minta ampun. Wong Nabi Muhammad yang kualitas kemanusiaannya paling top mendakwahi masyarakat Mekah selama 13 tahun hanya mendapatkan kurang dari 300 pengikut militan (walau menurut riwayat sebenarnya banyak penduduk Mekah yang sudah beriman dalam hati mereka). Cara semacam ini insya Allah juga akan menyadarkan para penguasa wilayah kita asal disampaikan dengan cara yang cerdas dan telak. Tapi apa kita berani? Nah itu masalahnya, tingkat ketidakmusyrikan kita akan menentukan sebesar apa langkah kita.
Bayangkan jika cara-cara seperti di atas diberlakukan di banyak bidang. Katakanlah di pemilu rutin kita saja deh. Ketika ada calon yang kampanye, rakyat mulai cerdas mendebat para calonnya. Misalnya ilustrasinya seperti ini,
R : “Pak, rakyat sini sudah akur dan sehati, jenengan ke sini mau ngasih janji apa?”
C : “Saya akan gratiskan pendidikan, gratiskan kesehatan, buat transportasi murah”
R : “Yo sudah mestinya, kan amanat konstitusi negara kita kan gitu. Sampeyan kok ra kreatif ngono. Tapi kosik, sampeyan menggratiskan pendidikan itu tujuannya mau memperalat kami atau memang menunaikan konstitusi? Kalau cuma memperalat kami, kami kuat bikin sekolah sendiri untuk masyarakat sini, wong masyarakat sini punya cara belajar sendiri. Punya cara mengkader generasinya sendiri yang sudah pasti top dan mencintai Indonesia, wong terbukti dari mbah-mbahnya yang selalu melawan penjajahan.”
Tentu saja itu khayalan ngawur saya. Kalau rakyat kita sudah sampai pada kualitas semacam itu, negara kita pasti jadi superpowernya dunia. Tidak ditakuti karena senjatanya, tetapi dihormati karena kebudayaannya adiluhung dan mampu memayungi dunia. Itulah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Saat ini dunia hanya berlomba-lomba mengejar baldatun thayyibatun, tanpa peduli rabbun ghafur, malah seringnya membuat rabb murka.
Juwiring, 30 Agustus 2016