Saya pernah mengikuti sebuah majelis yang dihadiri Habib Anis Sholeh Ba’asyin dari Pati. Beliau mengemukakan tiga pola Islamisasi di Jawa. Berikut adalah hasil penerimaan saya atas tiga pola yang beliau sebutkan dan saya kembangkan berdasarkan beberapa rujukan yang saya baca.

1. Pola pertama terjadi di zaman para wali. Cirinya mereka sangat percaya diri dengan kemuliaan Islam sehingga tidak phobia ketika mereka menggarap budaya sebagai ruang ijtihadnya. Sehingga pada masa ini Islam dan kebudayaan Jawa bertaut indah dengan serangkaian inovasi kebudayaan yang mengagumkan. Seorang Sunan Giri bahkan bisa menjadi salah satu penasihat Majapahit, dengan gelar Raja Pandita.

2. Pola kedua terjadi di zaman pasca Perang Diponegoro. Ada perpisahan antara keraton dengan pesantren. Pesantren menjadi ekslusif seperti kerajaan-kerajaan kecil dan menjaga jarak dengan kebudayaan Jawa yang dulu telah digarap para wali dan penerusnya. Akibatnya ijtihad kebudayaan tidak berjalan secara baik. Mereka meninggalkan aksara Jawa, tradisi wayang, dll. Akibatnya kebudayaan ini terus dilanjutkan tanpa pengawalan para ulama. Pada periode ini, posisi umat Islam masih relatif mandiri walau tetap dibawah bayang-bayang penghancuran para penguasa. Puncaknya mereka bisa mendirikan ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dll. Tapi di sisi lain muncul juga aliran Kejawen dan Penganut Kebatinan yang berjarak dengan para santri.

3. Pola ketiga terjadi di tahun 1980-an. Ada gejala internasionalisasi akibat masuknya berbagai ideologi pergerakan Islam. Terjadi pertentangan antara gerakan di era ini dengan pola sebelumnya, bahkan yang di era para wali. Di era ini umat Islam sangat tergantung dan terpengaruh oleh berbagai keadaan global. Umat Islam tidak mandiri untuk menemukan ruang ijtihadnya dalam menghadapi kompleksitas masalah lokal. Mereka disibukkan untuk berjargon-jargon ria tentang persatuan Islam, tetapi di dalam tubuh umat Islam sendiri justru muncul pertentangan atas berbagai perkara yang sebenarnya dulu tidak pernah dipersoalkan. Kebudayaan bahkan sudah tidak digarap lagi semestinya. Kalaupun dipakai, itu sebatas seremonial dan formalitas saja. Bukan lagi sebagai bagian inheren dalam upaya dakwah.

Kini kita menikmati kenyataan bahwa pola ketiga sangat dominan di negeri ini. Pola kedua makin terkikis dan terseret arus politik. Dan pola pertama mulai kabur, baik disengaja atau karena tidak pernah dipelajari. Hal ini penting untuk direnungkan. Lalu apa usaha kita selanjutnya untuk menghargai mereka.

Surakarta, 25 November 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.