Salah seorang peneliti yang tercerahkan mencoba meneropong al Quran dari sisi huruf-huruf hijaiyahnya. Menurut beliau, kata “riba” itu memiliki makna “pembiasan”.

Dari beliau saya mendapatkan penjelasan yang logis mengapa riba diharamkan, karena ia tidak menjelaskan kenyataan atas sesuatu keadaan, tetapi merupakan pembiasan dalam berbagai bentuknya.

Dalam utang piutang, para ahli fikih merinci riba menjadi qardl dan riba jahiliyah. Dalam jual beli, para ahli fikih merinci riba menjadi riba fadl dan riba nasi’ah. Prinsip dasar penentuan ribanya kalau dipelajari karena memang adanya pembiasan. Mari kita lihat satu per satu.

Riba qardl, mempersyarati si peminjam untuk mengembalikan, berarti si pemberi pinjaman mendahului qadla bahwa dia pasti untung. Makanya ditagih tambahannya. Sedangkan riba jahiliyah, mempersyarati si peminjam membayar denda jika terlambat mengembalikan pinjaman. Berarti si pemberi pinjaman mengabaikan realitas kehidupan si peminjam.

Riba fadl sangat jelas lagi. Praktik mudahnya bisa kita lihat darijual beli valas itu. Atas logika apa 1 USD = 13.500 IDR? Tapi nyatanya kita semua menikmati keadaan itu. Sedangkan riba Nasi’ah mungkin lebih mudah dipahami pada praktik penimbunan barang demi meraih keuntungan yang berlipat-lipat melalui jalur distribusi.

Jadi alangkah lebih bijaknya kita sekarang belajar riba itu secara mendasar. Paling tidak, kita mulai untuk punya etika berhutang dengan mengembalikan tepat waktu dan bermurah hati dengan mengucapkan terima kasih kepada si peminjam. Selain itu kita jujur dalam membelanjakan hutang agar tidak membuat si pemberi hutang kehilangan kepercayaan pada kita.

Kita berharap agar para pemberi pinjaman tidak memberikan beban bunga kepada kita kan? Maka cobalah kita berpikir juga, sekiranya uangnya tidak kita pinjam, barangkali dia juga bisa memutar uang itu lebih produktif dari kita. Itulah pentingnya kita berpikir dari dua sudut pandang agar tidak sekadar menyalah-nyalahkan pihak lain.

Bagi banyak pelaku usaha, keberadaan bank sangat menolong mereka untuk memutar usaha karena bisa memberi talangan pinjaman untuk proses produksi. Karena nunggu pinjaman tanpa bunga dari saudaranya tidak ada. Meskipun kita tidak menutup mata, bahwa para pengusaha ada juga yang bersekongkol dengan bank agar neraca perusahaannya aman dari pungutan pajak yang sangat tinggi.

Hidup itu memang tidak hitam putih. Jadi kita harus jeli. Tapi pembiasan tetaplah pembiasan. Dan ada banyak pembiasan di kehidupan kita saat ini. Jika kita tidak keberatan, mengapa itu tidak kita sebut riba juga. Pencitraan, marketing berlebihan, dan berbagai manipulasi informasi, bukankah itu juga pembiasan. Mengapa kita tidak menyebutnya riba?

Surakarta, 26 Maret 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.