Habis mengurus administrasi sekolah dan ngobrol lama dengan Yusuf, my handsome brother yang sudah di tingkat akhir Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, sekolahnya kader-kader muda Muhammadiyah aku sempatkan mampir beli sari tebu di daerah Jomegatan. Penjualnya bapak-bapak yang intelek dan open minded. Jadilah kami ngobrol lama soal Islam dan aliran-aliran yang makin meriah ini.

Beliau berasal dari Pekalongan, dekat dengan rumahnya Habib Luthfy bin Yahya, sang bapak ini seorang NU tulen. Menikah dengan seorang putri dari lingkungan Muhammadiyah di Tirto Nirmolo, Kasihan, Bantul. Yang menarik adalah putranya kini disekolahkan di ponpes Salafi Islamic Center bin Baz Piyungan Bantul, salah satu faksi salafi yang oleh beberapa kalangan salafi garis keras dicap sebagai salafi menyimpang/sesat (duh piye jal). Keputusan beliau menyekolahkan anaknya di sana disesalkan banyak kiai NU yang menjadi teman-temannya. Beliau menjawab dengan santai, wong Gusti Allah-nya sama kok repot.

Bagi beliau ini eksperimen untuk menguji beliau sendiri dan membentuk tradisi berpikir yang luas bagi putranya. Setiap putranya pulang, putranya diajak diskusi dan beliau selalu menekankan kepadanya agar menghargai pendapat dan tidak mudah menjustifikasi orang. Wow, ini eksperimen menarik sekali, jika nanti berhasil. Bayangkan ada santri salafi tapi cara argumentasinya open minded dan berbeda dari karakter kebanyakan teman-teman salafi yang kalau udah berbeda pendapat, sesama teman-teman salafi aja bisa saling membid’ahkan bahkan menyesat-nyesatkan.

Saya sendiri waktu SMA dulu pernah diasuh kiai yang jadi sesepuhnya Muhammadiyah, ketua MUI kabupaten Gunungkidul, tapi sejak kecil sampai jadi kiai ngajinya di ponpes Salafiyah NU Banyuwangi. Unik lho, jadi santri Muhammadiyah ngajinya akidah Asy’ariyah, keren kan. Lalu di SMA juga ikut liqo tarbiyah, diskusi ideologi trans-nasional dengan teman-teman HTI, ngaji tiap pekan di kajiannya teman-teman Salafi Yamani yang you know lah betapa nyentriknya mereka kalau soal cap sana sini, dan mulai kenal dengan tulisannya orang-orang JIL. Sayangnya sejak SMA sampai mahasiswa saya tidak pernah berinteraksi langsung dengan komunitas Syiah sehingga saya tidak punya referensi otentik tentang mereka, saya cuma memastikan bahwa jika memang orang Syiah mencela sahabat dan hanya mengistimewakan Ali, maka saya tidak sepakat dengan tindakan mereka yang begituan dan sejenisnya.

Pengalaman di masa SMA inilah yang benar-benar menyelamatkan saya selama di kampus. Saya memilih pergerakan tidak berdasarkan ajakan kanan kiri, tapi karena potensi berkontribusi. Bukan karena gerakannya pasti paling bagus dan paling benar, tapi karena dirasa paling strategis untuk memberi manfaat pada umat. Tidak menjadi kaum fanatikus dan tidak terlalu kenceng di dunia pro dan anti. Karena khidmatku ya untuk Allah lewat Islam ini. Adapun pergerakan itu hanya wasilah teknisnya.

Tamantirto, 24 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.