Riba, HAM, LGBT, dan yang sejenisnya sekarang melenggang bebas di seluruh lapisan kehidupan masyarakat dunia karena manusia sudah mulai tidak menggunakan akal sehatnya. Sementara dalam perilaku beragama umat manusia, termasuk Islam, penggunaan nalar kian dipinggirkan dan setiap perbedaan dari mainstream selalu diadili sebagai sesat dan liberal.

Berbagai cara pun ditempuh untuk menangkalnya, ada yg berpendapat lewat jalur politik, ekonomi, kebudayaan, dll. Ada yang tetap konsisten dengan perjuangannya, ada yang tumbang di tengah jalan, ada yang ternyata cuma nebeng tenar untuk mengeruk keuntungan ekonomi di balik perjuangan itu. Dan kebanyakan selalu berangkat dari euforia kepemimpinan raksasa sebagai mesin yang nanti akan sanggup membasmi angkara murka yang kian menggila ini. Ah saya tidak mau menyebut istilahnya.

Padahal fakta yang terlihat di depan mata kita adalah dua hal, kebodohan dan kemiskinan. Kebodohan ini tidak sekedar urusan persekolahan tetapi adalah kematian nalar berpikir umat sehingga mudah dijejali aneka informasi sesat dan segala bentuk provokasi yang memecah belah umat, sehingga makin hari umat digiring menuju fanatisme golongan yang kian ekstrim. Sedangkan kemiskinan terjadi karena riba yang terus ditumbuh suburkan dalam berbagai bentuknya, dan yang paling mutakhir saat ini adalah riba yang dikasih baju agama.

Boleh setuju atau tidak, tetapi label syariah yang sedang marak saat ini justru kian membuat riba dan kemiskinan merajalela karena yang menang bukanlah prinsip syariahnya, melainkan teknik marketing baru yang bisa menembus segala lapisan umat Islam. Dengan kata syariah umat Islam langsung percaya dan tidak pernah mengecek hakikat dari produk yang dilabeli kata tersebut. Padahal jika mau diteliti, tidak ada 50% dari semua produk-produk berlabel syariah tersebut yang memenuhi prinsip jual beli seperti yang diajarkan Rasulullah.

Mari belajar dari sejarah Rasulullah. Beliau tidak memulai dakwah dengan penguasaan kepemimpinan dan pendekatan fikih. Tiga belas tahun lamanya beliau lakukan dakwah untuk menyadarkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sejati yang saat itu dikungkungi oleh corak feodalisme Arab. Beliau ajarkan kalimat Laa Ilaaha Illallah sebagai metode berpikir bahwa manusia itu sama sederajat, bahwa keadilan adalah payung tertinggi kehidupan, bahwa setiap manusia dilahirkan untuk menikmati kemerdekaannya sebagai hamba Allah.

Substansi perlawanan kesyirikan bukanlah sekedar pada berhala patung, tetapi pada segala bentuk pemikiran yang membuat manusia kehilangan kesadarannya sebagai hamba Allah. Dakwah di kota metropolitan Mekah ini pun hanya menghasilkan kurang dari 200 orang yang memiliki keimanan tangguh dan terang-terangan. Merekalah yang kemudian hijrah ke desa Madinah. Sisanya menyimpan keimanan di hatinya saja hingga datangnya Fathul Makkah beberapa tahun kemudian.

Madinah, seringkali kita pandang sebagai kota, karena cara berpikir kita dipengaruhi oleh keadaan sekarang. Padahal Madinah adalah desa di pedalaman yang dihuni oleh masyarakat heterogen. Ada orang Islam yang sudah berbaiat kepada Rasulullah di Aqabah, ada yang masih musyrik, ada yang beragama Nashrani, ada pula orang-orang Yahudi. Rasulullah datang ke Madinah sebagai tokoh masyarakat, bukan sebagai penguasa dalam arti kepemimpinan modern saat ini. Keistimewaan Rasulullah sebagai manusia yang termasyhur akhlaknya membuat segala bangsa segan dan hormat kepada beliau.

Piagam Madinah bukanlah perjanjian yang prosesnya cuma sekali, tetapi melalui konsolidasi bertahap sampai akhirnya dirumuskan sekian butir yang sangat indah itu. Sebuah kesepakatan bersama, kerelaan sosial dari masing-masing penghuni desa Madinah untuk bermuamalah dan menjaga tanah air mereka di bawah kesaksian Allah dan Rasulullah. Dan kita akan tahu, segolongan yang mengkhianati perjanjian ini, yaitu orang-orang Yahudi.

Mengapa orang-orang Yahudi berkhianat? Kita bisa melihat bagaimana sebelum kedatangan Rasulullah, mereka adalah penguasa ekonomi Madinah. Pasar Yahudi Madinah saat itu adalah denyut nadi ekonomi orang-orang Yahudi yang menjalankan praktek riba. Hingga akhirnya Rasulullah mengajarkan kejujuran dalam berjual beli dan sedikit demi sedikit, pasar Madinah yang jujur tumbuh, sehingga pasar Yahudi melemah dan kalah. Inilah dakwah Rasulullah di bidang ekonomi, yaitu kejujuran, bukan yang penting untung banyak.

Apa dakwah beliau selanjutnya? Sebagai masyarakat desa yang memiliki aset pertanian, masyarakat Madinah dibentuk menjadi masyarakat yang mandiri. Kemandirian ini diikuti dengan kehidupan yang sederhana. Kita tahu kan bagaimana Rasulullah biasa mengganjal perutnya dengan batu (karena tidak sering makan), pakaiannya cuma tiga potong, rumahnya cuma seukuran satu kamar kita di zaman ini, dan segala bentuk kesederhanaan lainnya. Beliau rajin bersedekah dan menolong orang-orang yang kesusahan. Jika pemimpin agungnya seperti itu, kira-kira orang-orang di Madinah lebih banyak yang hidup mewah atau sederhana? Saya yakin walaupun mereka mampu, mereka yang sudah beriman akan mencontoh kehidupan Rasulullah. Apa yang terjadi? Stabilitas sosial yang tinggi, karena perut orang-orang selalu terpenuhi dan tidak ada ketimpangan sosial.

Stabilitas masyarakat Madinah ini teruji ketika perang Khandaq. Sebuah desa yang diblokade 3 bulan kok tidak mengalami kebangkrutan itu jelas bukanlah desa sembarangan. Meskipun ada pengkhianatan dari dalam oleh orang-orang Yahudi, desa Madinah tetap tidak bergeming. Cobalah berimajinasi seandainya desa kita diblokade 3 bulan tanpa boleh melakukan transaksi apa pun dengan pihak luar. Bahkan di dalam desa itu ada sabotase, katakanlah penimbunan bahan makanan oleh salah satu kelompok masyarakat. Berapa hari masyarakat kita akan bertahan? Tidak bisa bepergian, tidak bisa melakukan hal-hal yang normal karena dibawah tekanan dan ancaman. Stress dan berbagai pengkhianatan akan mudah terjadi. Tapi ternyata Madinah tidak, 3 bulan lamanya, mereka setia dan mencintai tanah airnya. Dan kiranya batas 3 bulan inilah Allah terharu melihat kesabaran hamba-Nya, sehingga Dia kirim angin dan pasukan langit untuk menghalau pasukan koalisi Arab yang sudah memblokade desa Madinah.

Maka tidak mengherankan jika setelah wafatnya Rasulullah, orang-orang desa ini memiliki keunggulan di segala bidang dari masyarakat dunia pada masanya. Dua negara besar takluk oleh serombongan orang-orang desa dalam waktu kurang dari 50 tahun bukanlah hal yang wajar dalam sejarah peradaban. Kurang besar apa Persia dan Romawi Timur saat itu. Tapi mereka akhirnya bertekuk lutut menghadapi serangan orang-orang desa yang disiapkan oleh Rasulullah selama kurang lebih 9 tahun lamanya.

Banyak kisah bagaimana orang-orang desa Madinah ini memukau para raja. Mereka datang dengan kepala tegak, tidak lagi ndremis seperti budak seperti dulu-dulunya. Mereka orang-orang desa yang mandiri sehingga begitu menaklukkan suatu daerah, mereka dapat segera membuat putaran roda ekonomi dengan cepat. Selain itu, ketinggian akhlak kaum muslimin dalam peperangan membuat simpati para masyarakat yang dilewatinya. Kiranya Allah turunkan pertolongan melalui dukungan sosial yang kuat dari masyarakat yang dilewatinya. Maka tidak heran, daerah-daerah yang dikuasai umat Islam pada 50 tahun pertama hingga hari ini memiliki kecintaan pada Islam tanpa memiliki dendam sejarah. Bahkan bangsa Mesir pun menjadikan awal sejarah mereka dari penaklukan Amr bin Ash, bukan era Firaun.

Hari ini, dunia telah dikuasai Riba dan segala warna kezaliman yang tak terperi. Jika dahulu pembunuhan dilakukan secara nyata dengan pedang dan senjata, sekarang pembunuhan dilakukan secara maya dengan perusakan pikiran. Akhirnya kita mati tak sadarkan diri, entah beriman entah kafir, karena ilusi-ilusi terus menerus mengisi kepala umat Islam hari ini. Kebodohan dan kemiskinan akan semakin merajalela di segala bidang. Pertikaian dan adu domba akan terus disulut agar kita hancur dengan peperangan di antara kita.

Bagaimana sekiranya kita kembali kepada metode organiknya Nabi Muhammad? Yakni kemerdekaan berpikir dan kesederhanaan. Itulah dua medan yang masih bisa dikuasai umat Islam secara definitif. Merdekakan pikiran kita dari segala ilusi yang ada dan mari kembali hidup dengan memperhatikan segala hal yang melekat pada diri kita. Kemerdekaan berpikir akan mendorong berbagai dialog antar umat Islam maupun non-Islam, sehingga diharapkan terjadi persatuan. Kemudian dengan kesederhanaan akan membuang kecurigaan sesama kita terkait harta dan kekuasaan. Karena kesederhaan untuk tidak nggragas pada harta dan kekuasaan akan membuat ktia mampu terikat kuat.

Sejarah hidup Rasulullah itu bukan dongeng, tapi itu praktik kemanusiaan yang nyata. Sejarah hidup Rasulullah itu bukanlah soal perang, tetapi tentang keseluruhan dari akhlak yang agung. Karena bahkan dalam perang pun beliau tidak pernah membunuh siapa pun, memperlakukan setiap tawanan dengan sesuai martabat kemanusiaan, dan menyerahkan urusan keadilan kepada yang berhak (seperti beliau menyerahkan keputusan hukuman atas pengkhianatan salah satu klan Yahudi kepada sesepuh Madinah, sebagai orang yang lebih tahu kondisi sejarahnya).

Waspadalah dengan desa-desa yang mulai meng-kota. Jika program dakwah Mekah kita juga penuh ilusi dan bertumbangan karena ga sabar ingin cepat kaya, waspada pula bahwa kita akan kehilangan Madinah karena di sana juga mulai kerasukan penyakit kota yang kronis.

Juwiring, 6 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.