Cerita Gun yang lain soal Mesir
Katanya, meskipun Ikhwanul Muslimin sudah diberangus as Sisi, aset-asetnya yang triliunan dibekukan, baik yang di dalam negeri dan luar negeri, para pemimpinnya dieksekusi tanpa rasa keadilan sedikit pun, hingga Dr. Yusuf Qardhawi menyebut sang jenderal jagal lebih kejam dari Gamal Abdel Naseer, rakyat Mesir masih mengenang harum perjuangan para ksatrianya.
Aku bertanya mengapa? Karena Ikhwanul Muslimin-lah organisasi yang paling serius membangkitkan rasa cinta tanah air rakyat Mesir ketika itu yang dilanda kebingungan dalam kehancuran kekhilafahan Islam dan cengkeram kolonialisme Inggris dan Prancis. Dari organisasi inilah, gerakan-gerakan kebangkitan Mesir dikonsolidasikan. Ikhwanul Muslimin tetap eksis meski pasang surut dalam sejarahnya.
Benar juga, dari sependek pengetahuanku belajar hingga hari ini, Ikhwanul Muslimin adalah gerakan yang kala itu berhasil menghimpun seluruh kekuatan penting yang potensial di Mesir, seperti yang termaktub dalam 8 fikrah Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini menyapa semua elemen yang ada di Mesir kala itu, sehingga mereka bersedia bergabung bersama-sama melawan tirani dan membebaskan Masjid al Aqsha yang sudah direbut oleh Zionis lewat tentara Inggris.
Selain itu, para pemimpin Ikhwanul Muslimin di masa-masa awal adalah intelektual sekaligus pelaku tasawuf. Hasan al Banna sendiri adalah anggota tarekat Hashafiyah Sadziliyah. Mereka tetap membaur bersama masyarakat sesuai dengan corak madzhab fikih yang berlaku kala itu. Mereka tetap merayakan perayaan maulid Nabi, mereka berusaha meredam aneka perbedaan furu’iyah dan berkomitmen pada hal-hal yang asasi seperti yang terlihat dari wasiat Hasan al Banna.
Meski sebagai pergerakan, wajah Ikhwanul Muslimin tetap bisa menjadi sebuah perkumpulan/asosiasi dari berbagai elemen umat Islam. Tiba-tiba saya ingat dengan Majelisul Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kemudian menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan akhirnya menjelma menjadi satu-satunya kekuatan politik umat Islam pada masa pasca-Kemerdekaan sebelum akhirnya pecah dan membubarkan diri.
Lalu timbul pertanyaan dari benakku, benarkah gagasan cemerlang pergerakan Ikhwanul Muslimin itu masih diadopsi oleh umat Islam, khususnya di Indonesia. Apakah manhaj mereka benar-benar diaplikasikan untuk perjuangan dakwah Islam dan persatuan kaum muslimin? Atau sebenarnya, gerakan-gerakan dakwah di tanah air yang terus berpecah belah tidak karuan ini memang tidak serius melakukan muhasabah sehingga belum bisa duduk bersama untuk mengulang kembali kemanisan MIAI.
Pada dasarnya aku tidak tahu wajah IM yang sekarang, apakah masih seperti IM dulu atau tidak, tapi cerita Gun membuatku bisa mengukur betapa besarnya jasanya bagi bumi Kinanah itu. Meski saat ini polisi dan intelejen terus memburu orang-orang IM yang belum tertangkap, menindas rakyat yang membanggakannya, menyumpal mulut penduduk yang membincangkan kebaikannya, menebarkan horor bagi mahasiswa asing seperti Gun agar tidak menelisiknya.
Lalu bagaimana dengan yang di sini, yang mengaku mengadopsi gerakan yang menyejarah itu? Benarkah kita mewarisi kedalaman pikiran Hasan al Banna, yang kalau kita baca Risalah Pergerakan kita akan terkagum dengan cara pandang beliau yang jauh melesat ke depan. Benarkah kita mewarisi ketenangan beliau yang hidup bertasawuf, sementara di sini justru malah meributkan dan terus berolok-olok tentang hal itu.
Kata memang hanya kata. Kata “Ikhwanul Muslimin” telah diadopsi jadi macam-macam kok sekarang. Lagi pula kita enggan belajar dan membaca sejarah. Inginnya yang praktis-praktis aja kan. Kalau perlu cara cepat masuk syurga akan dikejar. Percayalah, bikin saja seminar, “Cara Cepat Menuju Syurga”, insya Allah akan ramai. Hehehe
Juwiring, 21 Februari 2016