Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa Saudi dan Iran merupakan dua negara yang sama-sama sektarian. Keduanya sama-sama punya sekutu adidaya yang juga bermusuhan. Dan dari keduanya pula aneka permusuhan bermunculan di Timur Tengah.
Makanya orang-orang Indonesia yang masih muda, belum matang secara wawasan sejarah peradaban Islam, lalu belajar di sana kalau pulang ikut membawa masalah Timur Tengah yang sebenarnya bukan urusan kita. Makanya Pak Solehan (eks ketua DDII Jateng) pernah mengingatkan Pak Natsir agar orang-orang yang mau dikirim belajar ke Timur Tengah terlebih dulu ditugaskan untuk mengenal problematika dakwah Islam di tanah air, sehingga pemikirannya matang sebelum menerima pelajaran di sana.
Dan coba tanya orang-orang yang haji/umrah, bisakah umat Islam menjadikan Mekah dan Madinah sebagai pusat kebangkitan untuk membangun persatuan Islam kembali? Kumpul-kumpul berdiskusi antar umat Islam lintas negara? Bisakah begitu? Kalau bisa, kok ga ada kabarnya seandainya ada perkembangan gerakan persatuan Islam sedunia? Atau jangan-jangan tiap mau gitu dilarang oleh tentara sana? Dan kita lebih banyak lihat orang selfie, belanja, dan liburan kan. Hotel dan pusat perbelanjaan tersedia, dibangun oleh siapa dan atas bantuan siapa?
Mari ingat kembali sejarah ulama-ulama kita yang pernah menjadi guru di sana, tentang tanah wakaf Sultan Agung Hanyokrokusuma. Ingat pula saat kebebasan belajar Islam disana diambil alih secara paksa oleh dinasti Saud dengan bantuan Inggris, sampai Kiai Wahab Chasbullah dkk membentuk komite Hijjaz dan menyerukan adanya otonomi khusus di Haramain sehingga khazanah madzhab Islam tetap terpelihara.
Juwiring, 3 Januari 2016