Bicara tentang masyarakat, negara, dan bangsa hari ini begitu banyak wacananya. Kita mau pakai teori mana saja dan buku apa saja pasti tidak ada habisnya jika ingin dibahas dan didiskusikan, bahkan untuk diperdebatkan. Antara kaum kapitalis dan komunis cara pandangnya beda. Antara kaum nasionalis dengan kaum Islamis cara pandangnya juga beda. Lalu bagaimana? #BukanUrusanSaya

Saya lebih tertarik untuk kembali pada terminologi peradaban yang saya yakini kebenarannya sebagai peradaban terbaik yang pernah ada dalam sejarah manusia. Peradaban apakah itu? Ialah peradaban Madinah. Nama peradaban ini sampai diadopsi menjadi istilah tatanan masyarakat yang terbaik dengan sebutan masyarakat Madani. Kata masyarakat Madani lalu dieksplorasi ditafsirkan mulai dari para professor hingga para aktivitas pergerakan untuk jadi salah satu perangkat visi mereka, yakni mewujudkan tatanan masyarakat Madani. Tak jarang istilah itu juga terkadang dieksploitasi untuk kepentingan proyek yang diberi nama proyek peradaban Madani.

Saya sudah membaca beberapa literatur tentang masyarakat Madani, baik itu tulisan guru besar yang muslim taat hingga yang liberal, baik itu tulisan para dai atau aktivis untuk menggerakkan wacana agar tetap dapat hidup atau mungkin untuk menghidupinya juga. Dan kesimpulan sementara hari ini, saya tidak puas dengan berbagai uraian yang panjang dan ilmiah itu. Namun dari uraian-uraian itu saya mendapatkan sebuah konsep tersendiri bagaimana saya menafsirkan dan menyimpulkan tatanan masyarakat yang disebut Madani itu.

Mari kembali ke Madinah, karena itu sumber kecemerlangan mata air peradaban manusia. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana masyarakat Madinah hidup dan bertata aturan? Uraian berikutnya tentu sekumpulan opini saya dan pertanyaan-pertanyaan yang hari ini masih saya cari jawaban terbaiknya. Mungkin berguna juga bagi pembaca untuk menggugat pemahaman yang selama ini telah mapan dan mengendap di pikiran pembaca tanpa digugat lagi.

Kepemimpinan Rasulullah

Pertanyaan pertama, apa model kepemimpinan Rasulullah? Banyak literatur dan tulisan opini yang mengklaim bahwa Rasulullah memimpin umat begini dan begitu. Yang pro istilah demokrasi memaksakan diri dengan mengklaim bahwa kepemimpinan Rasulullah itu demokratis. Yang pro istilah khilafah melakukan hal yang sama. Yang pro sosialis juga tidak mau ketinggalan. Bahkan mungkin (karena saya belum pernah membaca), yang pro kapitalisme, yang pro A, B, C, D, E akan melakukan klaim yang sama karena mereka sandarkan pada bukti-bukti dari kisah yang beliau lakukan.

Saya malah melihat hal ini sebagai cara berpikir yang terbalik. Jika kepemimpinan Rasulullah adalah klaim dari mereka semua, maka apa tidak berarti bahwa kepemimpinan Rasulullah tidak kompatibel dengan definisi mereka. Artinya kepemimpinan Rasulullah atas masyarakat Madinah bukanlah apa yang selama ini didefinisikan orang-orang sekarang menurut kepentingan politiknya. Dan cara berpikir induktif semacam ini akan berbahaya karena melihat apa yang Rasulullah lakukan dalam membangun masyarakat diklaim dengan teori yang lahirnya beberapa abad setelah Rasulullah berhasil membangun peradaban Islam.

Yang sudah pasti kita ketahui Rasulullah adalah nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah manusia. Maka mengapa kita tidak berlapang dada saja bahwa kepemimpinan Rasulullah ya kepemimpinan spiritual. Tapi kita tidak berhenti sampai di sini, karena yang namanya kepemimpinan itu adalah praktik operasional yang diterapkan pada manusia. Maka praktik operasional Rasulullah ini perlu kita tafsirkan berdasarkan riwayat-riwayat shahih yang kita terima dari beliau.

Maka untuk pertanyaan pertama, saya berpendapat bahwa kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan spiritual. Dan jika ingin melihat kehidupan manusia ini kembali seperti masa keemasan Islam maka ya kita harus kembalikan kepemimpinan manusia ini kepada kepemimpinan spiritual. Saya lebih memilih menggunakan kata “spiritual”, karena dalam definisi saya sendiri kata ini mencakup bagaimana kepemimpinan bersumber pada al-Quran dan penerapannya yang penuh hikmah. Maka bagi saya hingga hari ini, hakikat kepemimpinan umat dari masa ke masa tetap terletak pada ulama, bukan pada umara’ atau yang sering diistilahkan dengan khalifah.

Setidaknya, kesimpulan yang saat ini saya pegang membuat saya tidak lagi merasa cemas dengan berbagai peristiwa politik yang berkembang sekarang. Bahwa saya bergabung dalam parpol tertentu, ikut pemilu, atau tinggal di Indonesia itu hanya sebuah substansi kecil dari keyakinan saya atas kerinduan lahirnya kepemimpinan spiritual itu. Sehingga kalau ada masalah yang menimpa apa yang saya ikuti dan saya terlibat di dalamnya ya itu biasa-biasa saja. Partai dikoyak kasus, ya biasa saja. Pemilu kisruh, negara tidak jelas seperti ini ya biar saja, bubar pun tidak masalah karena secara prinsip telah rusak. Siapa tahu setelah bubar nanti malah terlahir peradaban baru yang lebih baik, karena Allah menghendaki lahirnya kepemimpinan akhir zaman yang Dia janjikan itu.

Kehidupan Masyarakat Madinah

Pertanyaan kedua, bagaimana tata kelola masyarakat Madinah sehingga dapat menjadi potret masyarakat yang makmur dan berdaulat baik secara politk dan ekonomi? Hari ini kita terlalu bosan bukan melihat aneka wacana soal kedaulatan bangsa yang sebenarnya semu. Bagaimana berdaulat wong sistem ekonominya dikuasai Dajjal, sistem politiknya ditegakkan dengan cara yang curang. Bahkan muncul wacana baru yang menggunakan istilah agama, yaitu khilafah yang sebenarnya masih jauh dari substansi dasar pembentukan masyarakat Madinah.

Masih ada sambungannya dengan kepemimpinan spiritual Rasulullah, kita dapat membuat tinjauan masyarakat Madinah dengan pisau bedah yang sama. Berdasarkan kisah sejarah yang saya baca dalam beberapa versi, baik itu tulisan para ulama maupun edisi tulisan orang-orang barat yang hendak merasionalkan dakwah Islam di satu abad pertamanya namun gagal total, saya mendapati dua fenomena masyarakat yang disatukan oleh Allah.

Masyarakat Mekah yang mau beriman kepada Allah telah menjalani ujian fisik untuk mempertahankan keyakinannya. Dakwah Tauhid yang ditanamkan oleh Rasulullah terbukti membebaskan manusia-manusia yang ada di kota itu. Dunia metropolitan yang penuh hedonisme adalah ujian tersendiri bagi yang ingin meninggalkan dunia itu. Jangankan menentang pertuanan, wong meninggalkan kenyamanan ini tidak semua orang mampu. Dan kita lihat sendiri kan, berapa yang mau beriman kepada Rasulullah dalam dakwah 13 tahunnya di Mekah.

Bagi saya adalah hal luar biasa dalam ukuran kemanusiaan di waktu itu jika seorang Abu Bakar, Utsman dan orang-orang terpandang di Mekah memilih bergabung dengan Rasulullah, begitu pula Bilal dan rombongan budak yang memilih ber-Islam meski disiksa tuannya. Jikalau bukan karena energi luar biasa dalam diri manusia-manusia itu sendiri, mungkinkah mereka akan memilih Rasulullah yang bertindak menyalahi sistem dan aturan yang telah berlaku?

Nah, di sinilah kita melihat luar biasanya dakwah Rasulullah yang menyasar pada potensi besar manusia, yakni hati. Karena setiap manusia pada hakikatnya memiliki harta karun dalam dirinya yang berupa fitrah, yakni memori tentang janji yang ia ucapkan kepada Allah sebelum dilahirkan ke dunia. Maka Rasulullah memanggil manusia agar ingat dengan janjinya ini. Dan inilah hal pokok dari dakwah Islam itu sendiri, bukan yang lainnya.

Jika dalam dirinya hanya ada Allah dan kecintaannya untuk mengikut Rasulullah maka siksaan dan aneka cobaan tidak bernilai lagi. Dengan sendirinya hal ini menjadikan mereka masyarakat yang merdeka dan mandiri secara pribadi. Ini akan dapat kita lihat kemudian mengapa saat terjadi konflik di akhir kepemimpinan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib tidak terjadi kasus kubu-kubuan yang ekstrim seperti pilpres di Indonesia 2014 ini.

Sementara itu, masyarakat Madinah adalah kaum petani yang sebelum kedatangan Rasulullah senantiasa diwarnai konflik dan peperangan antar suku. Bani Aus dan Khazraj adalah dua kabilah besar yang saling berseteru sepanjang tahun. Perseteruan mereka dimanfaatkan oleh kaum Yahudi yang tinggal di daerah itu untuk mengeruk keuntungan ekonomi serta melakukan aneka tipu daya. Hingga akhirnya mereka mendapatkan cahaya Islam dalam sebuah perjanan haji mereka di Mekah dan terjadilah baiat Aqabah pertama dan kedua.

Adalah fitrah bagi manusia jika mereka mendambakan adanya kehidupan yang damai dan penuh persatuan. Kedamaian itu terjawab manakala Islam datang ke tengah-tengah mereka, tak hanya memberikan solusi kedamaian secara rasional tetapi juga menyentuh hati mereka yang terdalam sehingga mereka diberi kelembutan dan ketenangan. Maka wajar saja jika masyarakat Madinah lebih memilih Rasulullah sebagai pemimpin dari pada Abdullah bin Ubay bin Salul yang sebenarnya juga memiliki jasa dalam memoderasi konflik yang terjadi di kedua suku penghuni Madinah itu.

Dari kedua hal ini kita melihat dengan jelas bahwa dakwah itu hendaknya memberi jawaban mendasar dahulu atas kebutuhan manusia yang sebenarnya, bukan apa yang kelihatannya saja. Di sini psikologi dan empati lebih bermain dominan, sedangkan materi dan hal-hal yang sifatnya administratif sifatnya hanya melengkapi saja. Bagaimana dengan hari ini? Bukankah kita lebih banyak mendapati bahwa belajar Islam identik dengan ceramah dan tuturan yang sifatnya formal dan dilembagakan. Maka lihat seberapa mendalam hasilnya. Tentu berbeda dengan kisah masyarakat Madinah yang indah itu.

Maka kesimpulan sementara saya dalam belajar untuk menjawab pertanyaan kedua saya tadi adalah kedaulatan masyarakat Madinah secara politik dan ekonomi terjadi karena kemandirian yang bersumber dari dalam diri mereka. Mereka menaati Allah dan Rasulullah tersebab dari latihan yang mereka lakukan semenjak menerima dakwah Rasulullah, dan tentu saja semua karena pertolongan Allah tersebab atas kesungguhan mereka. Pada jiwa-jiwa yang merdeka maka tidak ada ketakutan apa pun selain kemurkaan Allah.

Kedaulatan Politik Madinah

Pertanyaan ketiga, Adakah undang-undang yang dibuat di masa Rasulullah berkuasa selain Piagam Madinah dan Piagam Hudaibiyah sehingga Madinah menjadi begitu perkasa dan berdaulat seperti itu? Pertanyaan ini akan membawa kita berpikir tentang konsep kedaulatan politik sebuah masyarakat atas masyarakat lainnya.

Berdasarkan apa yang saya pelajari dari beberapa shirah Nabawiyah dan buku sejarah yang ditulis sejarawan modern, Piagam Madinah adalah bentuk ideal dari perjanjian masyarakat bagaimana membentuk suatu negara. Dalam piagam Madinah  dijelaskan perjanjian persekutuan antar elemen-elemen dasar masyarakat yang mendiami kawasan Madinah. Pokok-pokok perjanjiannya pun membidik hal-hal yang sifatnya kepentingan bersama menyangkut stabilitas negara, bukan peribadatan dan perihal agama.

Maka dengan demikian jelas, bahwa semua umat Islam Madinah rujukannya jelas kepada Rasulullah. Orang-orang Yahudi rujukannya kepada pemuka agama mereka. Begitu pula pemeluk agama yang lainnya. Perjanjian ini yang gagal diwujudkan umat Islam di Indonesia, karena jangankan memiliki satu suara, wong saling menghargai perbedaan dalam hal fiqh saja sulitnya luar biasa hari ini. Rasanya gatal kalau tidak mencibir orang yang cara shalatnya agak berbeda dengannya.

Kekasaran dialektika ini lalu dieksploitasi oleh orang-orang liberal untuk mendengung-dengungkan pluralisme. Ini lebih kacau lagi karena sebenarnya memang kehidupan manusia itu sudah plural sebagai sunatullah. Tapi malah ada penyimpangan istilah dengan adanya pluralisme, seolah-olah adanya kampanye tentang pluralitas. Pluralitas itu adalah fakta penciptaan dari Allah, kenapa malah diideologikan oleh orang-orang liberal lalu jadi alat untuk menghantam umat Islam yang gemar bertikai seperti sekarang. Sudah bawaannya gemar berselisih, disodori paham baru makin kencang saja pertikaiannya.

Sementara Piagam Hudaibiyah lebih menunjukkan bahwa taktik yang jitu itu dengan cara memangku. Tradisi memangku ini sebenarnya relevan dengan tata nilai Jawa, yakni “menang tanpa ngasorake” atau memang tanpa membuat yang kalah terhina. Sulit diterima logika oleh orang Arab waktu itu, bahkan oleh sahabat sekelas Umar bin Khattab bahwa Rasulullah mau menghapus gelar kerasulannya dan menghapus nama Allah ar Rahman dan ar Rahiim yang mulia dalam teks perjanjian demi menuruti keinginan orang-orang Quraisy sebelum melanjutkan perundingan.

Lebih menarik lagi, sekilas isi dari perjanjian itu secara materi merugikan masyarakat Madinah. Tapi di sini terlihat bagaimana Rasulullah memiliki taktik yang dipadu dengan keyakinan hati yang besar. Dakwah Rasulullah adalah menyentuh sisi terdalam dari harta karun manusia, maka beliau memprioritaskan bagaimana Islam tersiar dengan benar dan sesuai fitrahnya.

Maka menurut saya salah besar opini yang menyebut bahwa perang-perang yang dilakukan Rasulullah adalah peperangan yang bersifat perampasan. Karena jika diklasifikasi berdasarkan apa yang terjadi selama Rasulullah memimpin umat Islam di Madinah, peperangan yang terjadi adalah peperangan untuk menuntut balas atas perampokan harta kaum Muhajirin yang ada di mekah, peperangan meladeni serangan baik orang Quraisy hingga ancaman orang Romawi, dan peperangan untuk menundukkan para pengkhianat yang terang-terangan berkhianat, yakni oleh orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah yang melanggar kesepakatan.

Adapun orang-orang munafik, Rasulullah sama sekali tidak berbuat apa pun kecuali menghukum mereka dengan tidak menshalatkan jenazahnya saat wafat. Bahkan saat ayat tentang penegasan kemunafikan Abdullah bin Ubay bin Salul turun dan sebagian sahabat telah mengetahui kebusukannya, Rasulullah tetap melarang untuk membunuhnya. Mengapa? Karena hal ini akan mencoreng citra dakwah Islam yang hanif dan penuh rahmat. Untuk orang-orang munafik, Rasulullah memberikan contoh kepada kita untuk mengedepankan sanki sosial. Dan di tengah kondisi penuh fitnah sekarang, bukankah kemunafikan lebih sulit dikenali, wong kita sendiri mungkin juga mudah terserang penyakit munafik tersebut. Tapi entah mengapa hari ini, banyak orang yang sangat percaya diri mengkafir-kafirkan saudaranya sesama muslim.

Lalu adakah perundang-undangan lain yang ditulis dan diundangkan selain dari kedua piagam mulia itu? Setahu saya hingga hari ini tidak ada lagi. Keduanya merupakan pilar penting dalam sejarah Madinah sehingga negara tersebut bisa berdiri kokoh secara politik dan disegani. Kedaulatan politik ini sebagaimana diuraikan sebelumnya ditopang tatanan masyarakat yang telah merdeka dan mandiri. Artinya negara ini secara umum stabil karena masing-masing individunya tahu akan hak dan kewajibannya. Maka peraturan kemasyarakatannya tidak lagi ribet seperti zaman sekarang yang segala hal serba diatur.

Maka menurut saya ada beberapa hal pokok yang bisa kita ambil dari sini, yakni bahwa untuk membentuk negara atau masyarakat yang stabil adalah dimulai dengan perjanjian yang sejajar antara elemen-elemen masyarakat yang ada. Dan jauh sebelum itu, setiap muslim harus benar-benar menjadi agen dakwah yang memperkenalkan Islam sebagai sistem nilai, bukan simbol-simbol kasat mata seperti yang hari ini sering memperdaya umat Islam. Inilah yang menurut saya asas dasar terbentuknya kedaulatan politik sebuah bangsa.

Karena jika bangsa Arab dan Yahudi yang saat itu dikenal sebagai bangsa liar, sukar diatur, dan barbar saja menerima asas Islam sebagai pandu dalam kepemimpinan Madinah (meskipun di kemudian hari Yahudi berkhianat) yakni dengan pengangkatan Rasulullah sebagai pemimpin, maka terlebih bangsa-bangsa timur yang secara nilai sudah mapan berabad-abad sebelumnya. Maka jika orang-orang Indonesia hari ini malah antipati dengan Islam, jangan hanya menyalahkan media yang memang kerjaannya merusak, tapi mari kita periksa seperti apakah kita sebagai seorang muslim memahami Islam dan mendakwahkan Islam kepada yang lain dengan cara yang benar sesuai prinsip Rasulullah tersebut.

Sedangkan prinsip untuk diplomasi yang berkaitan dengan luar negeri atau musuh, maka yang terpenting adalah tersiarkannya produk utama kita. Proyek kehidupan Rasulullah adalah tersiarkannya Islam ke seluruh penjuru dunia, maka beberapa poin seolah merugikan tetap beliau setujui selama kebebasan berdakwah dan menyerukan Islam tidak dibatasi. Hal ini masih sejalan hingga hari ini dan seharusnya kita bersyukur tinggal di Indonesia, meskipun informasi berlaku sangat liberal, kita juga tetap dapat menyiarkan Islam ini dengan sebebas-bebasnya kan.

Bukankah dakwah Islam membentuk manusia-manusia yang merdeka dan berdaulat atas dirinya sendiri. Maka prioritas dakwah Islam itu menyasar pada pembentukan individu agar kuat terlebih dahulu, bukan fokus pada komunitas dan organisasi. Kalau orang cenderungnya ke organisasi, jadinya ya kayak hari ini, aliran, pergerakan, dan apa pun yang seperti itu menjadi agama baru yang justru menutupi Islam.

Kedaulatan Ekonomi Madinah

Pertanyaan keempat, bagaimana sistem ekonomi masyarakat Madinah sehingga bisa berdaulat dan mengalahkan pasar Yahudi yang telah lebih dahulu menguasai perekonomian Madinah? Ini pertanyaan menarik selanjutnya karena di negeri ini sekalipun sudah ada lembaga sosial, BMT, bahkan Bank Syariah kok ternyata ekonomi umat Islam tidak bangkit. Bahkan konon di negeri ini yang menunaikan haji setiap tahun terus bertambah. Apa yang salah?

Berdasarkan kajian shirah yang saya baca, dua hal yang dilakukan Rasulullah saat awal-awal memimpin Madinah, pertama menerapkan alat tukar yang standar yakni Dinar dan Dirham yang awalnya adalah mata uang yang dipakai Romawi. Dinar terbuat dari emas dan dirham terbuat dari perak. Yang kedua adalah membangun pasar Madinah dengan sistem yang benar, tidak ikut ke pasar Yahudi yang sudah menerapkan riba.

Alat tukar yang standar dan bernilai membuat inflasi tidak akan terjadi dengan mudah, meskipun dalam kondisi darurat inflasi bisa saja terjadi. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang berlaku sekarang, apalagi adanya perbedaan nilai tukar antar mata uang, itu lebih kacau dan jelas akan terjadi praktek perampokan dengan cara halus. Bayangkan 1 USD = 13.000 IDR, ide dari manakah ini. Bagaimana bisa secara nalar nilai uang mereka berkali-kali lipat nilai uang kita. Tapi kita tak pernah menyadari hal ini dan terlanjur menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja.

Sedangkan pasar Madinah yang digerakkan dengan prinsip ekonomi yang benar akan membuat alat tukar itu terus berputar secara adil. Artinya yang bekerja keras akan mendapatkan bagian besar dari perputaran alat tukar tersebut, yang berleha-leha akan mendapatkan sedikit alat tukar. Jadi di sini berlaku keadilan bahwa semakin produktif seseorang maka akan semakin besar bagian alat tukar yang ia peroleh. Hal ini berbeda dengan praktek ekonomi yang curang seperti zaman sekarang, yang bersantai-santai bisa mendapatkan uang banyak, yang bekerja di sawah seharian harus tetap hidup dalam keadaan serba kekurangan.

Maka sejujurnya saya tidak tertarik untuk membahas permasalahan bank itu haram atau halal dan sebagainya. Karena bank tidak pernah ada dalam sistem perekonomian yang dijalankan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya. Dan jika bicara soal bunga (riba), itu hukumnya sudah jelas dan terang di dalam al-Quran. Jika saya hari ini memakai jasanya lebih karena faktor kepraktisan dalam bertransaksi dan pengamanan fisik uang saja. Tidak pernah berharap bunga dan berdoa terus semoga tidak terpaksa hutang bank, apalagi terlilit hutang di sana. Sama saja apakah bank itu konvensional atau berlabel syariat. Wong itu seperti kios-kios di pasar Yahudi. Pasar Yahudi sekarang kan sistem ekonomi yang berlaku menyeluruh di dunia ini. Sementara Rasulullah dahulu membuat pasar sendiri, tidak buka kios di pasar Yahudi.

Masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah ini juga unik karena ada kaum petani yang merupakan golongan Anshar, atau masyarakat asli Madinah sebelum hijrah dan kaum pedagang dan buruh yang merupakan golongan Muhajirin. Ada golongan produsen, ada golongan pedagan. Dan mereka semua adalah konsumen. Perpaduan ini membuat struktur perekonomian masyarakat tumbuh secara sehat dan berdaulat. Bandingkan dengan hari ini, di mana produsen sejati semua berkumpul di desa. Sementara kaum buruh dan pedagang berkumpul di kota. Penerepan sistem ekonominya pun curang, yakni kaum pedagang memperalat buruh dengan biaya murah dan menjarah produk dari produsen sejati di desa.

Sehingga apa yang dapat diproduksi oleh Madinah semua diedarkan dahulu untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya sendiri melalui perdagangan yang ada di pasar. Barulah yang tidak tersedia diperoleh dengan mendatangkan barang-barang dari luar. Dengan nilai tukar yang sama maka tidak ada nilai kerugian karena setiap barang yang diperlukan ditukar dengan alat tukar yang berharga. Lihat sekarang, bagaimana hasil-hasil alam yang itu merupakan barang berharga karena faktor produksinya ditentukan oleh kekuasaan Allah (pertanian, perkebunan, tambang dll) ditukar dengan produk-produk teknologi yang justru melenakan manusia dari Allah. Secara nalar sehat pun produk-produk buatan Allah jelas tidak bisa dibandingkan dengan ciptaan manusia yang dari waktu ke waktu terus di-upgrade.

Dalam praktik sosial, nilai tauhid yang merasuk dalam jiwa setiap masyarakat Madinah sehingga mereka melakukan dua hal ini. Pertama, sebagian mereka yang ditakdirkan oleh Allah sebagai golongan orang yang miskin (atau secara penguasaan alat tukar rendah) mereka menahan diri dari mengemis dan tidak menunjuk-nunjukkan kemiskinannya. Mereka menjaga harga diri mereka agar tidak jatuh, sehingga jangankan merasa dengki, mengemis saja tidak. Bahkan mereka tetap bersyukur dan merasa kaya dengan apa yang Allah anugerahkan kepada diri mereka yakni keimanan dan kebersamaan dengan Rasulullah dan kaum muslimin. Sistem sosial yang seperti ini membuat orang-orang munafik dan orang-orang yang terikat dalam Piagam Madinah mau tidak mau juga “ngumumi” apa yang terjadi di tengah masyarakat tersebut.

Kedua, sebagian mereka yang ditakdirkan sebagai orang yang kaya selalu mencemaskan diri dengan hisab di akhirat. Sehingga sekaya apa pun mereka, mereka zuhud dan hidup seperti umumnya masyarakat. Kekayaannya justru disedekahkan dan digunakan untuk membiayai kepentingan umum seperti pembiayaan perang dan kebutuhan sosial lainnya. Di zaman Rasulullah belum ada Baitul Maal (Kas Negara) karena setiap habis perang, harta rampasan langsung dibagi-bagikan Rasulullah. Beliau sendiri sekalipun mendapatkan seperlima dari rampasan perang biasanya dalam beberapa hari kemudian langsung habis karena dibagikan ke setiap orang yang membutuhkan.

Kombinasi kehidupan si kaya dan si miskin di Madinah inilah yang membuat kita belajar bahwa sebaiknya kita menghindari penggunaan kedua kata itu dalam operasional ekonomi kita. Ini tantangan berbahasa agar tidak merendahkan dan tidak menyuburkan mental miskin di kalangan sebagian orang yang tidak tahu rasa malu lagi. Kita bisa melihat bagaimana hari ini justru ada yang bangga dinyatakan miskin, dan marah jika tidak mendapatkan santunan dari pemerintah. Di sisi lain kita juga melihat orang kaya ingin semakin tampil ngejreng meski kekayaannya adalah dengan menghisap pos-pos rakyat yang produktif demi menuruti ambisinya untuk selalu hidup mewah.

Dua perilaku dasar dari masyarakat Madinah tersebut sudah menyelesaikan berbagai permasalah sosial turunan lainnya. Sehingga jangankan korupsi, bahkan untuk bergaya hidup mewah saja masyarakat secara umum menjadi sungkan. Pembangunan akan berjalan lancar. Dan aneka penyakit masyarakat akan terhindarkan secara sendirinya karena setiap orang mencapai level kebahagiaannya baik dengan banyaknya alat tukar maupun sedikitnya alat tukar yang mereka miliki. Karena aset penting yang mahal bagi mereka adalah keimanan dan kebersamaan di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin yang ada Rasulullah di dalamnya.

Maka tidak heran jika masyarakat Madinah sangat mandiri secara ekonomi. Sehingga mereka sanggup bertahan meskipun diserang berkali-kali dengan tanpa mengalami krisis ekonomi di dalam. Bahkan di kesempatan lain mereka dapat melancarkan serangan balasan untuk menaklukkan penguasa kabilah lain atas permintaan para penduduknya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sejarah di mana kebanyakan negara yang terus diserang pasti akan mengalami krisis dan akhirnya jatuh.

Di Madinah faktor kedisiplinan dan keadilan ekonomi (kedaulatan ekonomi) berpadu dengan ketaatan masyarakat kepada Allah (kedaulatan politik) sehingga menghasilkan kelompok masyarakat yang paling ditakuti sepanjang sejarah. Hasilnya kita lihat dalam kurun 100 tahun kemudian bahwa bangsa Arab Quraisy berhasil menaklukkan kekuatan besar dunia seperti Sasanid Persia dan Bizantium Romawi dan menyiarkan Islam hingga ke semenangjung barat Afrika dan sisi utara India.

Mata Air yang Terbiaskan

Entah bagaimana umat Islam hari ini kehilangan parameternya. Sejarah Madinah seolah terbiaskan dari kenyataannya. Kepemimpinan, sistem ekonomi, dan tatanan masyarakat Islam sudah tidak lagi dipahami dari mata air peradaban ini. Dengan mudah kita membebek pada pendapat A, B, C dan kadang celakanya kita mengadopsi teori-teori yang diproduksi oleh orang-orang Barat yang atheis dan materialistis.

Perjuangan di Mekah adalah kawah candradimuka untuk melahirkan umat Islam yang tangguh dan merdeka. Dan kehidupan Madinah adalah pintu pembuka peradaban Islam yang mendunia. Tak sepantasnya kita melupakan peristiwa paling penting dalam sejarah ini. Mengapa kita justru disibukkan dengan aneka isu yang remeh hari ini.

Jika Madinah adalah desa, mengapa kita tak mencoba berpikir untuk membuat Madinah-Madinah baru di desa-desa kita. Indonesia bukan Jakarta. Dari desa-desa itu kita bangun kembali Madinah, tak perlu menunggu intruksi Jakarta yang hari ini terlalu banyak dipenuhi aneka tipu daya dan berbagai kerusakan. Biarlah Jakarta membenahi dirinya sendiri dahulu, dan kita yang di sini bergerak kembali ke mata air peradaban Islam.

Mewujudkan tatanan masyarakat Madani dari Jakarta hari ini terlalu sulit untuk dilakukan. Tetapi mewujudkan Indonesia Madani sangat mungkin dimulai dari desa-desa kita. Karena desa adalah orang tuanya NKRI yang sekarang sering kita sebut-sebut dengan harga mati. Buat apa mempertahankan anak yang durhaka kepada orang tuanya. Jika Khidzir saja membunuh anak kecil yang dijumpainya saat dia sedang berjalan bersama Musa hingga Musa bertanya-tanya alasannya, ini kita diberi alasan yang jelas. Biarlah kepulauan Nusantara ini kembali tumbuh mandiri dan menjadi barisan bangsa yang kuat dan disegani kembali. Kita bangun lagi dengan cara seperti Rasulullah membangun Madinah.

Demikian hasil belajar dan refleksi saya sampai hari ini. Belajar untuk berpikir mandiri dan melakukan koreksi atas pemikiran masa lalu. Barangkali tulisan ini juga akan kembali saya koreksi dengan hasil belajar saya di masa mendatang.

Surakarta, 21 Desember 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.