Cara umat Islam keluar dari term negara (state) bukanlah dengan membuat state baru atau coup de etat. Hasilnya akan sama saja. Sebab begitu berdiri negara Islam, aturan globalnya tetap ikut kesepakatan internasional.

Kalau dulu, senjata masih milik setiap bangsa. Artinya setiap bangsa berdaulat atas persenjataannya sendiri. Sekarang senjata kan dimonopoli AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan China. Yakin siap meluaskan wilayah dengan melawan hulu ledak nuklir mereka? Masak iya, kita mau perang tapi senjatanya kulakan dari mereka yang mau kita perangi? Hahaha.

Maka dari itu, mari kita pikirkan masak-masak, apakah umat Islam tetap akan jadi “penumpang” dalam peradaban semacam ini. Lebih konyol lagi, apakah kita akan mencoreng Islam dengan gerakan-gerakan sparatisme dan kekerasan akibat reaksi yang tidak tepat sasaran atas penindasan elit-elit kekuasaan negara seperti saat ini? Apalagi memasuki jebakan istilah “toleran” dan “intoleransi” atau yang sejenisnya.

Sesungguhnya al Quran sudah jelas-jelas menuliskan bahwa orang-orang yang beriman itu senantiasa melakukan “syura” di antara mereka. Pernahkah kita mengkaji benar-benar ajaran ini dan bagaimana implementasinya dari masa ke masa. Mengapa tiba-tiba kita begitu monoton menerjemahkan pengaturan kehidupan manusia dalam bahasa kekuasaan, lebih sempit lagi dalam narasi kerajaan-kerajaan, dan lebih konyol lagi kita gelari raja-raja itu dengan sebutan khalifah. Dengkul macam apa ini?

Saya berpendapat bahwa “syura” itulah kunci bagaimana umat Islam bisa keluar dari jebakan narasi kekuasan dari era kerajaan hingga negara demokrasi ala AS macam sekarang. Sebab konsep syura secara fundamental memang sangat berbeda dengan pola-pola kekuasaan yang cenderung elitis. Di mana-mana, tradisi kekuasaan itu akan meniscayakan adanya elit (yang diberi kekuasaan) dan awam (yang tinggal terima jadi kekuasaan, termasuk siap dipalak dan disuruh-suruh).

Hal itu sangat berbeda dengan syura yang sudah dijalankan Nabi Muhammad di Madinah. Kita mungkin susah membayangkan bagaimana syura berjalan, sebab dari zaman orok, pikiran kita selalu didoktrin oleh cara-cara ala kekuasaan yang menempatkan elit berhak menyuruh-nyuruh awam. Sederhananya praktik syura dapat dilihat ketika Nabi rembugan langsung dengan masyarakat untuk membangun jalan di tengah Madinah. Setelah disepakati konsep dan teknisnya, Nabi langsung bekerja. Begitu melihat Nabi bekerja, orang-orang pun langsung bekerja berdasarkan apa yang sudah dibahas dan disepakati.

Jadi, prinsip utama syura itu bukan mengurus struktur organisasi, tetapi membahas kita mau ngapain, lalu menjalankan. Yang dianggap pemimpin bukanlah yang suka nyuruh-nyuruh dan merintah sana sini, tetapi yang dia selalu menjadi inisiator untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Dalam persiapan perang Uhud, Nabi mengusulkan perang di dalam kota, tetapi hasil musyawarahnya adalah perang di Uhud. Nabi langsung menunjukkan kesiapannya. Poinnya adalah kalau sudah sepakat ya melakukan.

Bagaimana membangun tradisi “syura”? Ya dimulai dari lingkup-lingkup kecil. Mustahil membangun syura dalam lingkup negara yang sangat besar. Sebab prinsip dasar “syura” itu melibatkan partisipasi langsung untuk mendengar, berpendapat, dan menyepakati. Maka masyarakat yang hidup dalam tradisi “syura” tidak akan tertarik membangun narasi kekuasaan besar-besar seperti cara pandang orang yang negarasentris seperti sekarang. Mereka lebih menghargai nilai tiap-tiap manusia sebagai subyek-subyek pelaksana peradaban. Di situlah suasana egaliter terbentuk dengan sebenar-benarnya.

Saat ini, masyarakat di seluruh penjuru dunia mengalami kegelisahan dengan adanya negara. Negara melalui pemerintahnya lebih banyak melayani kepentingan para pemodal ketimbang memberikan kesejahteraan rakyatnya. Mungkin ada beberapa negara yang benar-benar menjamin kesejahteraan rakyatnya, tapi di sisi lain negara ini mencari penghidupan dengan menjajah negara lainnya secara ekonomi. Rakyat yang hidup nurani kemanusiaannya, pasti tidak rela melihat sesama manusia tertindas, sekalipun berbeda negara dengannya.

Di situlah sebenarnya peluang besar umat Islam memulai tradisi baru. Tidak mungkin kita bisa keluar dari jebakan negara dengan cara-cara militer seperti yang dilakukan Umar bin Khattab yang mampu menghancurkan Byzantium dan Persia. Yang bisa kita lakukan justru menyegarkan pemahaman cara hidup bersama dengan “syura” terserah diterjemahkan seperti apa dalam implementasinya. Tetapi prinsipnya adalah manusia itu setara satu sama lain dan harus dijaga martabatnya. Kita hanya bisa melakukan kehidupan bersama-sama jika kita sepakat secara sadar dan saling menghormati apa-apa yang tidak kita sepakati selama ia itdak merugikan salah satu dari pihak kita.

Dengan mengajak orang sedunia mentradisikan “syura” untuk membereskan urusan kehidupan mereka masing-masing, saya yakin meskipun sangat lama, manusia akan meninggalkan doktrin-doktrin negara yang merugikan mereka. Dengan sendirinya institusi-institusi negara yang cenderung absolut kehilangan legitimasinya, atau setidaknya tidak lagi seperkasa sebelumnya. Pastinya gerakan ini akan dilabeli macam-macam oleh pihak penguasa. Tetapi jika tradisi ini semakin mendunia, para penguasa dengan sendirinya akan kehilangan legitimasinya.

Barangkali keadaan itu akan memaksa para penguasa untuk saling bersekutu dalam rangka merebut kembali kedudukan kekuasaan mereka yang tidak lagi diakui masyarakat. Jika kutubnya sudah seperti ini, maka sangat jelas dan mudahlah permusuhan dijelaskan. Yang akan bergabung dengan para penguasa adalah orang-orang yang mentalnya memang suka nyuruh-nyuruh dan tidak egaliter, mereka yang sangat senang menundukkan manusia-manusia di bawah kaki mereka.

Sementara masyarakat yang merdeka, bergabung dalam satu barisan yang berdasarkan prinsip tolong menolong dan saling mengingatkan dengan kebaikan dan kesabaran. Narasi agama dalam arti institusional seperti yang masih bikin ramai kayak sekarang, tidak menjadi hal yang diributkan lagi. Sebab jika kita memercayai kebaikan setiap manusia, maka dengan sendirinya kita pasti akan menghormati keyakinannya tanpa kita harus jadi seperti sales yang saling meminta orang berpindah keyakinan. Umar bin Khattab saja menjamin kemerdekaan beragama orang-orang Kristen dan Yahudi ketika Yerusalem berhasil ditaklukkan. Nabi pun juga melarang keras perusakan rumah ibadah dan penganiayaan pada pemeluk agama lain yang tidak terlibat perang.

Hari ini, perang sangat mustahil dimenangkan. Dan kalau pun menang, dunia sudah hancur. Jadi jangan menempuh jalan perang. Kita tawarkan “syura” untuk tatanan dunia baru. Kita sambut kemerdekaan sebagai manusia yang menghargai pikiran dan akal sehatnya. Bukan terperangkap doktrin-doktrin dan kultus fanatisme seperti saat ini. Eman-eman pikiran kita, cuma digunakan untuk kampanye pilpres yang konyol semacam itu.

Bersamaan dengan menyebarkan tradisi “syura” kita mulai untuk bertanggung jawab pada sampah, mengembangkan kemandirian pangan, membangun sirkulasi ekonomi tertutup dalam lingkaran-lingkaran kecil kita. Itu yang logis dan riil untuk kita jalankan. Biarlah Allah yang memberi jawaban di masa depan. Yang penting kita memulainya.

Surakarta, 21 Desember 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.