Jika kehalusan peradaban Jawa dapat menjadi jalan dakwah Islam yang penuh hikmah ini, mengapa harus mengambil pendekatan dari peradaban yang hari ini terus menerus berkonflik tak berujung, seolah memang tak bisa didamaikan lagi hingga salah satu pihak harus dilenyapkan atau diutus kembali “seorang nabi” ke tengah mereka.

Budaya “memangku” sepertinya sudah mulai hilang ya. Menang tanpa ngasorake sekaligus melawan tanpa harus menantang mulai hilang. Padahal itu adalah strstegi yang juga diteladankan nabi dalam perjanjian Hudaibiyah dan aktivitas dakwah kesehariannya. Aroma kebencian, kemarahan, dan kedengkian terus dihembuskan di hati umat. Adakah kebaikan di tengah kehidupan yang dipenuhi prasangka dan perasaan hati yang membara seperti itu?

Kadang saya berimajinasi karena susahnya mencari simulasi nyata hari ini, bagaimana seorang yang hampir 20 tahun tahun dimusuhi secara massal dan begitu keji, memaafkan mereka dalam waktu sehari, tanpa syarat, tanpa basa-basi. Mulianya, alangkah indahnya hal itu. Tanpa menafikan perang di zaman nabi ketika beliau meladeni tantangan koalisi maupun menumpas pengkhianat perjanjian, kurasa kita terlampau berlebihan jika mengatakan puncak penyelesaian setiap masalah adalah dengan perang.

Jika dasar perang adalah dendam, maka Fathul Makkah sudah menjadi ladang pembantaian. Karena musyrikin Makkah lah sumber bencana dan segala provokasi permusuhan dari bangsa Arab kepada Rasulullah. Hari itu mereka tidak berdaya, tapi hari itu mereka bebas dari pembalasan kaum Muslimin yang dahulu mereka tindas. Maka bagaimana Rasulullah memerintahkan perang? Jelas itu bukan sebuah tindakan politik apalagi motif ekonomi seperti peperangan yang ditabuh beberapa abad kemudian. Perang yang Rasulullah perintahkan adalah jihad dalam arti yang sejati, keberlanjutan dari jihad kaum muslimin terhadap hawa nafsunya.

Jika perang bisa dihindari, mengapa harus dikompor-kompori terus. Di tanah ini, potensi perangnya jauh lebih mengerikan. Bermula dari kebiasaan mengejek, adu mulut, hingga perang dingin, ia bisa menyuburkan dendam hingga 7 turunan dengan strategi peperangan yang lebih dahsyat dari Timur Tengah. Kita adalah bangsa yang diberi ketahanan mental tinggi untuk menanggung penderitaan dan segala bentuk perasaan, maka kita tidak mudah gegeran dan melakukan revolusi. Tapi jika sekali pecah, kita bisa menjadi manusia yang sangat ganas dan mengerikan. Maka jangan gunakan teknologi mental ini untuk memupuk dendam dan kebencian.

Perjuangan umat Islam di negeri ini masih panjang. Masih harus menanggalkan baju keangkuhan individual, membuka ruang dialog yang rendah hati, membangun kecintaan yang tulus, dan fokus pada upaya penyatuan umat. Insya Allah harapan ini juga telah terhujam di dada jutaan umat Islam yang hari ini terus diperlakukan dengan semena-mena baik oleh sistem maupun para penguasanya

Surakarta, 3 Juni 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.