Mekah dan Madinah adalah dua area yang berbeda tipe. Mekah adalah negara kota dengan aturan pemerintahan aristokrasi. Sedangkan Madinah adalah desa yang mengalami perang dan damai secara bergiliran.

Di Mekah, Nabi Muhammad menampakkan sisi ideologisnya dalam berdakwah. Dengan modal tradisi klan yang kuat, beliau menyerukan pembelaan kepada yang tertindas dan mencela para penindas. Hasilnya beliau mendapat dukungan dari kaum tertindas sekaligus penentangan sengit dari para penindas. Dalam keadaan yang semakin sulit, Nabi dan para pengikutnya berhijrah ke Madinah.

Ketika berhijrah ke Madinah, beliau menampakkan sisi realistisnya dalam berdakwah. Dengan realitas masyarakat yang rawan konflik, maka Nabi hadir sebagai penengah dan memoderasi kesepakatan bersama hingga lahir Piagam Madinah. Yang marah atas upaya ini adalah para petualang politik yang hobi mengadu domba dan berkomplot dengan Yahudi untuk mereguk keuntungan dari adanya konflik. Makanya cara ia menentang Nabi dengan menjadi musuh dalam selimut.

Untuk kembali membebaskan tanah kelahirannya dari cengkeraman aristokrasi jahiliyah itu, maka ekspedisi-ekspedisi yang beliau lakukan adalah dengan memotong jalur ekonomi Mekah. Perang Badr dan perang-perang lainnya memang dimaksudkan untuk mengambrukkan perekonomian Mekah. Puncaknya adalah ketika perjanjian Hudaibiyah berhasil menaikkan pamor Madinah melebihi Mekah sehingga secara perlahan Mekah berangsur-angsur jatuh perekonomiannya.

Lho kok Nabi kayak gitu? Lho Nabi Muhammad itu manusia dan beliau menjalankan misinya sebagai manusia yang wajar. Lalu di mana sisi istimewanya beliau? Akhlaknya. Sifat pengasih, pemaaf, dan ksatria dalam peperangan itulah keluhuran beliau. Kita sudah mengetahui betapa ketatnya aturan perang yang beliau ajarkan, yang tujuannya adalah memanusialan manusia. Itulah mengapa setelah melihat perangnya Nabi, banyak kabilah Arab yang sukarela bergabung dengan beliau.

Akhlak dan keteladanan Nabi itulah yang dibawa para sahabat dan ulama untuk mengabarkan Islam ke penjuru dunia. Kekuasaan hanyalah bagian dari episode sejarah saja, ia kadang-kadang sejalan dengan tujuan disiarkannya Islam, di saat yang lain ia justru mencoreng kemuliaan Islam. Sepeninggal Nabi, memang tidak akan ada lagi manusia yang sesempurna beliau. Tapi bukan berarti kita kehilangan teladan untuk mendekati akhlak beliau.

Surakarta, 30 Mei 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.