Penjajahan ekonomi itu harus dilawan dengan kesadaran personal, bukan semata-mata mengandalkan sistem. Islam sebenarnya sangat lengkap mengajarkan umatnya melawan berbagai monopoli ekonomi.

Perintah untuk hanya memakan yang halal dan thayyib itu sebenarnya sudah bisa menjadi pintu untuk kita tidak hobi makan yang serba instan. Dengan menanam sendiri atau membeli dari petani yang kita punya aksesnya langsung maka itu bagian dari membangun ketahanan ekonomi. Tapi apa itu sudah dilakukan umat Islam? Kebanyakan belum. Repot. Dan petani-petani muslim pun kian berkurang.

Keteladanan hidup sederhana dan tidak menumpuk aset diam adalah contoh berikutnya. Tidak ada yang menyangkal bahwa Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, kecuali Ali adalah niagawan yang kaya. Mereka memiliki aset yang banyak tetapi tidak didiamkan, melainkan terus diputar agar bermanfaat bagi umat. Dan mereka memilih menjalani hidup sehari-hari dengan sederhana meskipun sebenarnya mereka mampu untuk tampil mewah layaknya orang yang berada.

Sekiranya umat Islam melakukan dua hal itu dengan konsisten, insya Allah akan terhindar dari banyak mudharat lainnya. Dengan memperhatikan makanannya secara ketat dan tidak waton mbadog, insya Allah kesehatannya terpelihara dan terhindar dari jerat kapitalisme di dunia kesehatan dan farmasi. Apalagi jika terbiasa mengkonsumsi tanaman herbal untuk mengobati penyakitnya sendiri. Dengan mempertahankan gaya hidupnya yang sederhana, maka kita tidak akan banyak direpotkan oleh berbagai gangguan sosial. Dengan menjaga penampilan sehari-hari agar wajar seperti umumnya masyarakat kita turut memanimilisir lahirnya kecemburuan sosial dan memicu kedengkian orang yang penyakitan semacam itu.

Istilah klasifikasi kelas atas, menengah, bawah pada konteks tertentu sangat berbahaya. Karena hari ini sedang terjadi pergerakan ekonomi di mana kelas menengah tumbuh semakin banyak. Pada saat yang sama kaum kelas bawah juga semakin banyak dengan jurang perbedaan yang menganga. Klasifikasi tersebut didasarkan pada ukuran materi yang mengakibatkan berbagai dampak sosial yang cukup ruwet untuk diurai. Bahkan sesama umat Islam saja, akhirnya terjadilah sekat-sekat karena tidak pernah dijembatani oleh sebuah tempat yang paling sakral yaitu masjid.

Tapi apa boleh buat. Masjid sekarang bukanlah sesuatu yang primer dalam komunitas umat Islam. Di tengah keterpecahan hati umat Islam, masjid hari ini hanya tinggal menjadi bangunan-bangunan yang dipadati untuk ritual ibadah saja. Bukan lagi menjadi tempat yang sangat ditakuti para penguasa karena “tuah ilahiyahnya”. Masjidlah yang membuat seorang Sultan atau Raja tidak akan bernilai lebih tinggi dari para budaknya karena semua sama-sama tunduk untuk berdiri, rukuk, dan sujud.

Karena semua hal dipandang secara materi, maka hilanglah kesadaran maqam. Ulama bukanlah sosok yang disegani lagi di mata para penguasa. Penguasa pun bebas berbuat sekehendaknya kepada mereka karena toh umat sendiri terus bertengkar memperbandingkan ulama-ulama panutannya. Lalu apa tindakan kita sekarang?

Juwiring, 13 November 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.