Kalau penelusuran sejarah kita sengaja diberhentikan pada masa KH Hasyim Asy’ari memimpin NU (dulu NO) atau KH Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah, maka ya wajar kalau kita akan terus saling berjarak (aku sebagai NU atau aku sebagai Muhammadiyah) padahal sama-sama bersyahadat dengan lafal yang sama. Coba diperpanjang lagi ke Syaikh Kholil Bangkalan yang dulu mengajar mereka berdua, apakah masih akan membuat kita saling berseberangan?
Demikian pula jika kita hanya kekeuh berpedoman bahwa madzhab saya adalah ini. Sementara kita tidak mencoba melihat bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal berguru pada Imam Syafii, Imam Syafii berguru pada Imam Malik, dan Imam Syafii menjalankan fikih Imam Abu Hanifah ketika mengunjungi tanah kelahirannya. Atau paling tidak bertanya, “Apakah beliau berempat ini berencana mendirikan lembaga madzhab?” Atau sebenarnya karena tekun dan telatennya belajar sehingga mereka mampu memberi solusi bagi umat lalu nama mereka paling dikenal hingga hari ini.
Apalagi yang sekarang sedang getol-getolnya teriak kembali ke al Quran dan sunnah sambil menyesat-nyesatkan yang tak sependapat dengan golongannya. Coba digali dulu, maksud mereka itu kembali mendekat pada tadabbur al Quran atau maksudnya kita disuruh tunduk plek jiplek tentang pemahaman al Quran versi mereka. Kalau maksudnya adalah yang pertama, kapan bisa kita gelar majelis raksasa yang bisa saling berbagi hasil tadabbur al Quran. Kalau maksudnya adalah yang kedua, dengan jaminan apa bahwa pemahaman mereka pasti lebih benar dibandingkan kita, wong sama-sama pakai pikiran dan referensi memahami ayat-ayat tersebut.
Coba kita akui, kita tidak siap kan untuk melihat kenyataan yang lebih luas. Kita itu maunya ya keinginan-keinginan kita segera terwujud meskipun harus mengorbankan orang lain. Apa dikira musuh besar kita adalah Iblis? Bukan. Musuh besar kita adalah nafsu dan kelalaian kita sendiri.
Juwiring, 15 Oktober 2017