Apa salahnya dengan pilihan untuk memakai cadar? Bukankah itu hak berpakaian. Kalau pelarangannya dengan alasan itu bukan budaya Nusantara, maka yang berpakaian ala Eropa, apalagi yang cuma pakai pakaian kurang bahan itu harusnya dilarang juga.
Lama-lama perguruan tinggi menjadi lembaga aneh. Wadah intelektual yang seharusnya menggodog hal-hal baru, mendialogkan berbagai perbedaan pemikiran, dan melakukan upaya rekonsiliasi kebangsaan dengan membangun narasi sejarah yang maslahat sekarang malah menjadi tempat untuk mengajarkan rasisme dan benih intoleransi itu sendiri.
Bagaimana pun cadar dan burqa itu juga produk kebudayaan yang harus dihormati, walau bukan dari Nusantara. Kalau kita mau fair anti yang asing-asing, ya pakaian jeans, kaos ketat dll ya harus ditanggalkan juga, wong itu juga dari asing. Kalau ada yang berpendapat bahwa bangsa Arab sekarang banyak yang tidak pakai cadar dan burqa, ya wajar karena orang-orang Arab modern sedang getol meniru Amerika dan Eropa secara gila-gilaan. Sementara orang Indonesia kan juga sedang gandrung sama yang asing-asing juga, ada yang niru-niru Arab, Amerika, Eropa, Korea, Jepang, dll.
Kalau cadar dan burqa dikaitkan dengan perilaku terorisme, saya kira itu penghinaan pada produk kebudayaan Arab. Bagi saya sah-sah saja perempuan Indonesia memakai produk kebudayaan Arab itu dalam upaya menutup auratnya. Wong perempuan yang pakai produk kebudayaan Barat yang serba hot itu saja kita tidak bergejolak. Mbok yang adil dalam melihat realitas. Lagi pula, kiblat berpakaian kita sendiri hari ini sebenarnya jelas tidak? Wong janjane ya campur aduk tidak jelas.
Sebagai orang Jawa atau suku manapun dari Nusantara, pernahkah kita memikirkan nasib pakaian asli kebudayaan kita sehingga kita bangga memakainya sehari-hari? Saya sendiri sebagai orang Jawa tidak konsisten kok dengan itu. Nah, mending sekarang kita olah produk-produk kebudayaan leluhur kita diselaraskan dengan keyakinan kita pada Tuhan, ketimbang mencela dan melarang-larang secara konyol. Apalagi malah yang menginisiasi pelarangan semacam itu adalah kampus. Ruang yang seharusnya menjadi pusat dialog keilmuan dan menampung segala potensi perbedaan sebelum turun menjadi wacana publik.
Juwiring, 12 Oktober 2017