Saya belajar dari kehidupan Al Ghazali, Ibnu Athailah, Jalaludin Rumi, dll ketika zaman itu kekuasaan umat Islam hancur didera perang saudara sesama penguasa muslim dan diserang dari segala penjuru oleh raja-raja Eropa dan imperium Mongol.

Umat Islam tetap eksis dan tumbuh ketika mereka tetap bersama ulama. Dari situ saya memahami bahwa akidah itu memang sesuatu yang krusial bagi umat. Ia bukan soal label, tetapi keteguhan hati berpegang pada nilai-nilai Islam di setiap zaman.

Zaman ini, persoalan akidah sepertinya sudah diabaikan dengan terpecahnya umat Islam ke dalam kelompok-kelompok secara fanatik. Ada yang fanatik dengan klaim pengajaran akidahnya, ada yang fanatik dengan klaim perjuangan politiknya, ada yang fanatik dengan klaim kulturalnya, dan berbagai fanatisme lain yang justru mengaburkan makna dari umat Islam yang satu tubuh.

Sekalipun lagi galak-galaknya kajian akidah dilakukan, substansi yang terlihat justru kebanggaan kelompok. Sekalipun sedang digalakkan lagi dakwah kultural, substansi yang terlihat juga hanya soal eksistensi. Tidak banyak yang kembali mempersoalkan masalah-masalah mendasar umat seperti kemandirian dan kematangan umat dalam beragama.

Hitunglah, berapa ulama yang berbicara tentang peduli tetangga, kebersihan lingkungan, disiplin waktu, produktif bekerja, jujur dan beretika dalam melayani orang lain, dll. Bukankah hal-hal itu sebenarnya cermin dari lurusnya tauhid seseorang. Bayangkan ketika umat Islam tidak ribet dengan bendera ormas dan madzhabnya, punya sistem ekonomi tertutup, bangga dengan kedaulatan dirinya sebagai hamba Allah. Siapa yang bisa mengalahkannya?

Menggapai masa untuk menegakkan kekuasaan Islam mungkin agak-agak mustahil untuk dibayangkan dalam waktu dekat ini. Melihat umat Islam yang ekonominya mengikuti syariat Barat, cara pemerintahannya mengikuti syariat Barat, dan hampir di segala bidang umat Islam tidak lagi Islami, kecuali hanya menyisakan ritual ibadahnya, yang itu pun masih dijadikan lahan perdebatan dan dieksploitasi secara ekonomi seperti trend hijab, trend pakaian Islam, dan aneka-aneka label Islami yang sebenarnya hanya urusan kapitalisme, bukan hal yang substansial dari Islam.

Umat Islam memasuki puncak kehancurannya dengan fanatisme, kebanggaan kosong, dan degradasi moralnya. Jika dahulu al Ghazali menyebut banyaknya ulama suu’ yang menghancurkan peradaban Islam, hari ini jauh lebih banyak lagi. Ulama yang hidupnya bermegah-megah dan selingkuh dengan para kapitalis dan penguasa zalim. Mereka yang membingungkan umat dengan berbagai retorika kepentingan individu dan kelompoknya sehingga menyeret umat Islam dalam perang saudara, minimal beradu mulut di media sosial.

Meskipun memang tidak dapat dipungkiri ada faktor eksternal yang merusak tatanan peradaban Islam, tapi bukankah kehancuran peradaban itu sebenarnya berasal dari umat Islam sendiri yang tidak bertauhid. Umat yang hari ini beriman kepada banyak hal, tidak lagi kembali pada sumur keyakinannya yang sejati, karena dihijabi oleh fanatisme dan kebodohannya.

Kegagalan umat Islam menemukan wacana-wacana mandiri dari al Quran dan keteladanan Rasulullah, membuat umat Islam tidak lagi percaya diri untuk hidup sebagaimana generasi assabiqunal awwalun. Ceramah-ceramah agama memang laris manis, tapi pernahkah berdampak pada gaya hidup umat yang sederhana seperti Rasulullah dan para sahabat? Bukankah kedigdayaan umat Islam lahir karena umat Islam tidak sibuk bermegah-megahan dan tidak saling pamer dalam ritual ibadah? Karena setiap umat Islam sibuk melihat kekurangan dirinya dan mengakui kelebihan orang lain.

Hari ini, kita melihat kesyirikan yang jauh lebih parah dari era jahiliyah Arab. Di zaman itu, orang-orang masih jujur dan terhormat, sehingga ketika tidak mau menerima ajakan Rasulullah, mereka memilih kafir dari pada munafiq. Hari ini, masihkah kita temukan orang-orang kafir seperti zaman Rasulullah? Bukankah yang paling banyak justru orang-orang munafiq, yang barangkali kita sering juga berperilaku munafiq? Bukankah perilaku munafiq jauh lebih susah diatasi ketimbang kekafiran?

Di setiap zaman, permasalahan akidah tetap krusial. Kita memasuki jebakan yang paling berbahaya, yaitu identitas. Kita memasuki zaman yang membuat kita terlalu percaya diri sebagai seorang muslim, karena kita terjebak pada identitas KTP dan pengakuan orang. Padahal status muslim dan mukminnya kita, kan yang menerima Allah. Pernahkah kita memuhasabahi, di mata Allah aku muslim dan mukmin beneran ga sih?

Juwiring, 15 Agustus 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.