Mengapa sejarah penting? Salah satunya adalah untuk mengajarkan proses dan membangun kebiasaan bersyukur.
Yang lahir tahun 1990-an di desa, pasti pernah merasa bahwa TV berwarna itu sangat mewah. Sedusun cuma ada satu. Zaman itu kalau mau menyetel musik harus pakai kaset pita, kadang tapenya jadul sehingga untuk mempercepat lagu, pitanya diputer manual dengan bolpoin.
Lalu datang era komputer jadul, yang ditunggui dengan sabar waktu loadingnya. Ada juga radio pager yang warbyasah itu. Lalu datang era ponsel sebesar ulekan sambal. Mulai ada disket. Itu pun daya awetnya bisa dihitung dengan jari. Perlahan mulai muncul flash disk yang kapasitasnya setara 100 disket, harganya muahal banget.
Nah, hari ini, apa-apa ibaratnya tinggal crit semua. Nyetel musik tinggal gesek layar, pencet crit, keluar lagunya. Mau foto, ya dari tempat yang sama, gesek layar, tinggal monyongin mulut, jepret. Nah, kalau generasi yang lahirnya tahun 2000-an akhir, apalagi yang sudah lewat tahun 2010 tidak pernah mengerti sejarah panjang ini bisa berabe.
Jika urusan ponsel saja sudah sedemikian anunya generasi sekarang. Maka jangan tanya bagaimana mereka akan mengenal Bung Karno, Bung Hatta, mbah Ahmad Dahlan, mbah Hasyim Asy’ari. Apalagi mengenal Syaikh Kholil, Pangeran Diponegoro, Sultan Agung. Apalagi mengenal wali Songo. Apalagi mengenal ulama-ulama sebelum mereka sampai Kanjeng Nabi. Akhirnya nama mereka cuma tercatat sebagai simbol-simbol abstrak yang tidak pernah digali. Bila nanti tidak laku dijual, nama mereka pun mungkin akan dilenyapkan, diganti nama-nama yang lebih laku untuk dijual. Bisa-bisa nama mereka terhapus dari sejarah.
Lalu nama kita? Hahaha, sudah biasalah kita dilupakan. Wong orang yang kita tolong kemarin, 5 tahun lagi nanti akan mencaci maki kita gara-gara beda pilihan pilpres. Hahaha
Juwiring, 2 September 2016