Saya sering ngekek kalau lihat orang-orang yang gemredek soal maiyahnya Cak Nun. Orang lupa bahwa beliau adalah penyair, sastrawan, dan di khalayak ramai lebih dikenal sebagai budayawan, meskipun bagi yang pernah hadir di forum khasnya akan mengerti lebih jauh siapa beliau secara komprehensif. Jauh berbeda dari apa yang disangkakan kebanyakan orang saat ini. Dan predikat penyair, sastrawan, dan budayawan seharusnya cukup untuk menjadi frame bagaimana kita menangkap maksud dari wejangan-wejangan beliau.

Misale saat beliau bercerita, waktu beliau ditanya ikut NU apa Muhammadiyah beliau bingung, sebab meskipun lulusan sekolah Muhammadiyah, gara-gara suka sholawatan, beliau oleh sebagian orang Muhammadiyah dikategorikan orang NU. Tapi beliau oleh sebagian orang NU dikategorikan sebagai orang Muhammdiyah, secara lulusan SMA Muhammadiyah Jogja dan ayah beliau pendiri Muhammadiyah di Jombang Timur. Maka beliau bertanya kepada Kanjeng Nabi, baiknya ikut NU apa Muhammadiyah, ternyata Kanjeng Nabi bingung, beliau ga tahu NU dan Muhammadiyah. Kalau begitu Cak Nun memutuskan ikut Kanjeng Nabi saja.

Cerita guyon beliau di atas sangat gamblang maksudnya walau terkodifikasi dalam dialog fiktif. Tapi yang bikin geli adalah orang-orang yang mikirnya klenik atau skeptis, sehingga yang jadi fokusnya justru soal Cak Nun ketemu Kanjeng Nabinya. Yang klenik mulai aneh pikirannya dan memuja-muja Cak Nun tidak karuan. Yang skeptis punya bahan untuk menghujat dan nyemprot sambil baper tidak ketulungan. Dua golongan ini memang sedang naik daun di negeri yang orangnya diserang keputusasaan dan malas mikir, makanya pengikutnya banyak dan militan. Apalagi kalau sudah sampai pada urusan politik, aku berlindung kepada Allah dari godaan orang-orang ekstrim semacam itu.

Nah, masih banyak anekdot-anekdot tingkat tinggi yang Cak Nun ajarkan ke masyarakat. Tidak hanya mengajak masyarakat kembali berpikir, tapi juga belajar sastra dan sadar bahwa bahasa al Quran itu mayoritas dikemas dalam sastra tingkat tinggi. Ayat-ayat al Quran banyak mengandung metafor dan tak habis digali sebagai pedoman hidup. Satu ayat bisa menjadi metode apa saja dalam menjalani berbagai laku kehidupan jika software diri kita sudah diinstall dengan baik. Tentu saja hikmah tersebut tidak diturunkan pada golongan telmi (telat mikir) dan ngamukan.

Cak Nun hanya salah satu dari orang yang membantu kita memperbaiki software diri kita agar loadingnya makin cepat, sehingga tidak telmi dan jadi domba aduan para anak buah Dajjal. Masih banyak sumber belajar (tokoh) yang bisa kita gali ilmunya. Asal jangan kebanyakan ketipu sama televisi dan media online. Termasuk kebanyakan nonton Yutub terus beriman padanya tanpa reserve. Mari berlindung dari ketelmian dan kengamukan. Nasihat ini berlaku untuk diri saya sendiri dan siapa pun yang rindu perbaikan diri.

Juwiring, 19 Juli 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.