Mungkinkah manusia mengenal Tuhan? Jawabannya tidak mungkin. Satu-satunya cara adalah Tuhan mengenalkan dirinya pada manusia. Dia ciptakan kita, Dia ciptakan alam semesta, Dia utus Rasul, dan Dia turunkan kitab untuk mengenalkan nama panggilan-Nya.
Maka disitulah kita mengenal istilah agama. Maka dari pada ribut soal keyakinanmu dan keyakinanku, mari kita telusuri agama yang kita anut setiap saat sepanjang hidup untuk memastikan bahwa perangkat keyakinan kita adalah apa yang Tuhan berikan agar kita mengenal-Nya.
Makanya jika seorang anak TK bertanya kepada Ayahnya, “yah, agama itu penting ya yah?”, sang ayah tersenyum (meski hatinya terkejut). Tetapi senyum ayah tersebut tanda bahwa sang Ayah paham bahwa anaknya membuat pertanyaan yang tepat, yang akan menyelematkan dirinya kelak.
Dengan hati-hati sang ayah menjawab, “Nak, kita tidak mungkin bisa mengenal tuhan. Satu-satunya cara, Tuhan mengenalkan diri-Nya kepada kita, maka sarananya adalah agama.” Lalu sang anak dengan puas menanggapi, “Oh, saya kira agama itu mata pelajaran”.
Sang ayah terhenyak. Dalam hati ia bergumam, “Oh, pantesan Indonesia sekarang bobrok. Karena agama dijadikan mata pelajaran. Sehingga saat belajar bahasa, matematika, fisika, biologi, dll itu bukan perkara agama. Makanya menyontek boleh, ngakali boleh, karena bukan agama.”
Dan kita akhirnya menyadari betapa sekulernya negeri ini, meski kita sering menolak bahwa kita sendiri adalah pelaku sekulerisme itu. Karena hari ini istilah sekulerisme hanya digunakan untuk debat dan menghantam yang lain. Wacana tuduh-tuduhan sekuler begitu santernya hari ini, saling menyesatkan satu sama lain seolah menarik dan menyenangkan untuk dilemparkan.
Yang udah jelas-jelas mengaku liberal dan sekuler, maka sebenarnya mereka ibarat orang kafir yang mengaku kafir. Masalahnya kan lebih mudah. Lha yang sekuler tapi tidak sadar, dimasukkan golongan apa? Munafik? Bukan. Lalu? Belum lagi yang jelas-jelas munafik, mereka selalu berpura-pura karena dipenuhi niat jahat.
Surakarta, 14 Oktober 2015