Hari ini sampailah pada apa yang dijadwalkan. Indonesia kembali menggelar perhelatan kepemimpinan. Kisah tentang bagaimana 250-an juta rakyat Indonesia diminta memilih lambang partai yang entah dikenal betul, sekedar kenal atau sama sekali tidak dikenal. Juga memilih daftar nama dan wajah yang mungkin juga asing karena tiba-tiba nongol saat dibuka di bilik suara.

Itulah pemilu, perhelatan demokrasi yang membuat bangsa ini harus bertaruh untuk kepemimpinan 5 tahun yang akan datang. Pesta yang membuat polemik baik antar partai yang berebut kekuasaan, maupun kalangan masyarakat yang berdebat mau milih atau tidak. Yang tidak ingin memilih berkampanye dengan segala dalihnya, mungkin takut sendirian sehingga harus cari massa yang banyak. Yang menganjurkan milih sudah pasti lah demi meraup suara, meski memang itu peraturan yang ditetapkan kepada rakyat Indonesia agar berpartisipasi.

Terserah Anda mau berkata apa soal pemilu? Setidaknya rumus sederhanaku, yang terlalu banyak komentar nyinyir dan mencibir sudah pasti kurang kerjaan. Karena orang yang sadar kalau menganggur pasti akan cari kerjaan yang bermanfaat kalaupun tidak ingin terlibat dalam pesta demokrasi yang syarat pembully-an ini. Dan aku, aku memilih untuk terlibat dalam ajang ini, mengambil mandat dari partai yang kupilih, menjadi saksi Partai Keadilan Sejahtera.

Di kota Surakarta, PKS tentu saja menjadi partai minoritas dibanding dengan PDI Perjuangan yang memang lumbungnya di Jawa Tengah. Tentu saja kehadiran kami para kader muda untuk menjadi saksi di sini tak lain adalah belajar tentang interaksi politik secara nyata. Membuktikan apakah omongan orang soal A, B, C benar-benar terjadi di lapangan. Dan yang dipesankan kepada kami dalam training saksi, jujurlah untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Jadi kami bukan hanya menjadi saksi untuk suara PKS agar tidak dizalimi, tapi kami menjadi saksi bahwa ikhtiar pemilihan wakil rakyat ini harus adil dan tidak dicurangi.

Beruntung sekali Allah memilihkan TPS yang sangat nyaman. Petugasnya ramah dan terbuka, rekan-rekan saksinya pun mudah kuakrabi. Maklum, itu adalah area kos-kosanku dulu sebelum akhirnya pindah ke rumah tinggal yang baru dan lebih nyaman sekarang. Tapi yang paling berkesan adalah pertemuanku dengan Pak Marsono, saksi PDI Perjuangan yang ramah dan lain dari pada yang lain.

Ya, menurutku lain dari pada yang lain, karena beberapa pesan yang masuk ke ponselku mengatakan bahwa rekan-rekan saksi yang lain dalam suasana horor karena seolah dikawali preman di sekitarnya. Aku sama sekali tak mendapati hal itu. Bahkan dari beliau, banyak kisah menarik nan heroik yang bisa kupelajari tentang ayahnya yang pernah menjadi pengawal pribadi Presiden Soekarno. Kesimpulanku sementara, Pak Marsono adalah kader ideologis PDIP, bukan kader materialistis.

Sosok yang telah meng-Islam-kan beberapa orang, termasuk yang kini menjadi istrinya tentu sangat nyentrik bukan. Di tengah isu SARA yang berkembang sebagai dinamisasi politik di negara berkembang semacam Indonesia, tentu cerita beliau bisa menjadi hiburan serupa data pencilan. Saat waktu-waktu shalat tiba, beliaulah yang justru mengingatkan kami untuk segera shalat dan beliau sendiri juga melakukannya di saat aku melihat salah satu tokoh agama yang pernah ku kenal dulu justru tidak ikut keluar untuk shalat. Yah jelas, soalnya sejak awal memang tidak beranjak dari tempat duduknya.

Inilah potret data pencilan yang saya dapati kawan. Sebagai cindera mata menjadi saksi pemilu 9 April 2014 ini. Sosok bapak yang begitu ramah dan fair dalam menjadi saksi meski partainya menang telak. Aku ingin berkata, orang baik masih ada di banyak tempat kawan. Jangan pesimis, apalagi putus asa. Mari kita bertemu dan selalu berjalin silaturahim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.