Negeri Di Ujung Tanduk“Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan.” 

Pada perjalanan traveling ke Bandung kemarin, ternyata Allah memberi kejutan banyak. Tidak hanya dapat spot baru yang bagus buat ….. di Daarut Tauhid, ketemu Imam Shamsi Ali, tetapi juga bisa melahap Negeri di Ujung Tanduk karya Om Darwis Tere Liye. Ternyata cukup dua kali membaca, novel yang penuh tantangan itu berhasil membuatku tertawa dengan berbagai terminologi baru dan ditawarkan. Tentu saja persepsi baru juga dong.

Pertama, aku harus menahan tawa dengan terminology baru yang disampaikan beliau tentang politik. Apa itu politik? Selama ini mungkin kita terlalu jengah dengan berbagai istilah tentang itu. Lebih jengah lagi kita mendengar paparan para pembenci politik dengan segala sumpah serapahnya. Baiklah, aku segarkan saja dengan definisi dari buku itu bahwa politik adalah permainan terbesar dalam bisnis omong kosong.

What? Omong kosong? Bukankah realitanya demikian. Sekalipun yang dikampanyekan adalah perbaikan bangsa bla bla bla, sejatinya kita dapati bahwa demokrasi adalah lahan bisnis omong kosong yang paling kasat mata. Apa yang dijual kepada pemilih dinegeri ini jika bukan omong kosong. Karena sejatinya perubahan itu adalah tindakan nyata para pejuang dan petarung sejati. Para tokoh yang saat ini masih tersembunyi hingga yang terkenal sebagai pejabat yang bersih,, tentu bukanlah para pelaku bisnis omong kosong tersebut. Bahkan aku berani bertaruh mereka masih lebih sibuk dengan urusan perjuangan ketimbang koar-koar, PILIH SAYA atau bermulut manis dengan ribuan janji yang tidak lain adalah omong kosong tadi.

Yang kedua, tentang hakikat demokrasi di tengah orang-orang bodoh. Aku tidak peduli dengan istilah demokrasi sebagai produk barat, apalagi dengan makian bahwa demokrasi adalah produk kafir dan sebagainya. Tetapi tesis yang disampaikan Tere Liye dalam buku tersebut bahwa tidak ada demokrasi bagi rakyat yang bodoh menurutku adalah benar. Dengan cerdasnya beliau membuat ilustrasi seperti ini. Suatu daerah yang terisolasi oleh sungai deras hanya memiliki sebuah jembatan yang umurnya sangat tua. Suatu ketika ada keretakan jembatan yang ditemukan oleh seorang warga yang sedang mencari ikan. Kebetulan, hanya dia satu-satunya warga yang mengerti tentang ilmu konstruksi. Diangkatlah masalah itu ke rapat desa dengan target usulan perbaikan jembatan dengan swadaya. Karena dalam demokrasi berlaku suara terbanyak, maka hasilnya dapat dipastikan bahwa perbaikan jembatan dengan swadaya gagal karena banyak pihak yang tidak setuju, tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Alhasil beberapa hari kemudian jembatan ambruk bersama puluhan orang yang melintas di situ dan timbullah korban jiwa.

Maka demikianlah negeri ini ketika kita gagal memahami realitas politik dan realitas demokrasi hari ini. Karena gagal paham itu akan membuat sikap kita serba salah. Apakah cuek terhadap soal politik adalah tindakan yang benar? Coba renungkan jika para pemimpin negeri ini adalah pada bedebah karena banyak orang baik yang memilih diam membisu. Namun apakah menjadi pelaku demokrasi agar suatu saat dapat mengubah kebijakan bangsa ini juga pasti benar untuk kondisi saat ini? Tergantung. Jika politik yang dijalankan untuk mencerdaskan dan membangun kekuatan rakyat maka itu baru yang dinamakan gerakan perubahan. Jika hanya ikut meramaikan pesta demokrasi, berkompetisi soal jumlah pemilih dan saling mempermanis omong kosong yang dijual itu mah sebuah kesia-siaan.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.