Perjalananku bukan perjalananmu
Perjalananku adalah perjalananmu
Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.
Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.
Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
Itulah sinopsis yang tertulis di pustaka online Gramedia Pustaka Utama. Buku karya Agustinus Wibowo ini adalah salah satu buku yang renyah dan enak di baca. Sebuah ulasan perjalanan yang fair dalam mengungkap sisi kehidupan masyarakat yang dia kunjungi selama backpakeran ke negeri-negeri di Himalaya dan Asia Tengah.
Keyakinan agamanya yang universal mampu membuatnya bisa bersahabat dengan banyak orang di saat-saat perjalanannya itu. Meski dirinya seorang Buddha Maitreya, tapi dia mampu memandang dengan adil realita masyarakat yang berkembang di sana baik masyarakat Buddha, Hindu dan Muslim dari setiap daerah yang dia kunjungi.
Terlepas dari keuniversalan keyakinannya yang pluralis, dirinya mampu membedah sisi-sisi unik dari kehidupan masyarakat yang selama ini hanya diidentikkan dengan perang. Sebuah kabar tentang kemiskinan yang ternyata lebih parah dari pada tanah air kita. Tapi juga kabar tentang keramahan masyarakat yang dia dapati dalam sebuah iklim masyarakat yang cenderung suka perang. Tak banyak yang tahu jika tak pernah mengalami hal itu secara langsung, atau setidaknya lewat buku ini.
Khususnya bagiku yang muslim, aku mendapat banyak informasi berharga dari buku ketiganya ini. Khususnya tentang bagaimana sendi-sendi kehidupan kaum muslimin di negeri-negeri yang dulu pernah bernaung di bawah daulah khilafah Islam.
Selain itu, buku ini bercerita banyak hal tentang hikmah sebuah perjalanan dan tentang bagaimana berbakti kepada orang tua. Aku banyak belajar tentang pepatah Tionghoa dari sang penulis yang merupakan warga keturunan Tionghoa. Nama Agustinus Wibowo adalah nama yang mungkin diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, karena dia lebih akrab dipanggil Ming dalam keluarganya.
Semoga buku ini dapat meningkatkan wawasan dan kearifan para pembacanya. Sehingga persepsi kita lebih banyak bagaimana membangun persahabatan dari pada terus bermusuhan. Dialog dan bertukar pikiran adalah jalan para cendikia untuk menyatukan pemikiran dan meredam gejolak perbedaan agar semuanya itu menjadi produktif dan memberikan kebaikan bersama.
Pingback: Selimut Debu, Kabar Indah Dari Negeri Perang Afghanistan #2 | Be Better for Future