Sejak aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kota-kota Eropa itu dibangun dan masyarakatnya hidup, pandanganku banyak mengalami koreksi, terutama untuk mendefinisikan kapitalisme. Kata-kata yang sering didengungkan dengan penuh kebencian oleh para guru ekonomi dan para orator secara berapi-api itu kini membuatku menggelitik tawa yang diakhiri tersenyum kecut. Iya memang itu hal yang harus kita benci, tetapi kalo kita teriak-teriak sementara realita masyarakat kita lebih kapitalis bukankah itu kecolongan namanya.

Bahwa Eropa itu adalah negara-negara kapitalis tentu hal ini tidak dapat dipungkiri. Tapi tiba-tiba muncul dibenakku sebuah terminologi yang unik untuk kumunculkan, yakni kapitalisme kolektif dan kapitalisme individualistik. Dalam definisi yang saya ajukan, kapitalisme kolektif adalah sebuah konsep kapitalisme dimana sesama kapitalis dilarang saling mendahului dan sepakat untuk menghancurkan bangsa lain dengan kekuatan kapitalisme itu. Sedangkan kapitalisme individualistik saya definisikan sebagai kapitalisme yang berkembang di tingkat lokal untuk tumbuh menjadi kekuatan tunggal dengan menghabisi elemen masyarakatnya sendiri.

Sebulan di Eropa aku justru mendapati bahwa orang-orang Eropa lebih menonjolkan sisi kapitalisme kolektifnya. Bagaimana tidak? Transportasi maju mulai dari kereta dan bus umum. Bahkan di Jerman, tidak ada pengawasan tiket kereta secara ketat, petugas hanya sesekali sidak di gerbong. Tetapi semua penumpang sadar untuk membeli tiketnya sendiri di mesin otomatis yang tersebar di sepanjang koridor stasiun. Jika potret elemen masyarakatnya peduli seperti ini, pasti yang lebih tinggi dari itu juga mengerti bahwa korupsi akan merugikan bangsanya sendiri. Maka dapat dipastikan, angka korupsi di negara maju sangat kecil.

Jadi secara prematur, kesimpulan saya negara-negara Eropa yang terkenal imperialis dan kapitalis itu sejatinya kejam kepada negara-negara berkembang yang punya kekayaan alam tapi masyarakatnya bodoh. Mereka justru sangat perhatian kepada rakyat mereka dan berusaha menyejahterakan dengan cara apapun. Sementara itu media-media mulai televisi dan berbagai channelnya jarang memberitakan secara adil fakta bagaimana negara dan perusahaan di negerinya itu menindas negara-negara berkembang untuk dikeruk menghidupi mereka. Seandainya mereka sadar, saya masih yakin bahwa masyarakat Eropa juga masih punya rasa kemanusiaan seperti kita.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.