Sejarah hanya selalu berulang. Jika kita membaca tanda-tanda zaman dari masa dahulu hingga sekarang, sesungguhnya pola peristiwanya ya begitu-begitu saja. Ada yang terlarut tersebab dinamika yang berkembang. Ada yang tetap bertahan di luar kebanyakan orang. Bukan karena cari sensasi, tetapi sesungguhnya ujian panjang dari hidup ini tentang BERTAHAN.

Bertahan dari menceburkan diri dalam putaran konflik internal. Bertahan agar tidak menjadi subordinasi kepentingan orang lain. Bertahan agar tidak dikibuli orang-orang pandai nan rusak dalam tipuan kemaslahatan, padahal sejatinya umpan untuk mengunci demi melenyapkan bagian yang lain dari kita. Bertahan dari menebar rasa sakit hati akibat menyampaikan kebenaran yang tidak diikuti sarana utamanya, akhlak yang mulia.

Sesungguhnya setiap sahabat kita memiliki ruang hati mereka masing-masing. Maka nasihatilah mereka dengan cara mereka ingin dinasihati, bukan cara kita ingin menasihati. Karena baik bagi kita, bisa salah persepsi ketika tidak sesuai dengan keinginan dia. Maka mencari sarana, melihat momentum, dan bersabar saat ingin mengingatkan orang lain akan menghadirkan kesejukan dalam setiap interaksi kita.

Bahkan ekstrimnya, mungkin kita perlu kembali ke cara paling klasik dalam upaya menjalin keharmonian kita lagi. Karena dunia maya dan media sosial terkadang menjadi ladang untuk menggosip orang lain, hingga taraf mempermalukan seseorang. Karena terkadang SMS menimbulkan salah persepsi karena begitu singkatnya kata2 dan beda daya serap bahasanya. Sudahlah, mari silaturahim dan bicarakan baik-baik satu sama lain hingga berakhir dengan manis karena semua saling memberikan kemaafan sebelum masing-masing meminta maaf.

Negeri ini telah dilemahkan oleh kapitalisme, padahal sekiranya pemimpinnya berani memutus mata rantai itu, kita juga ga bakal mati. Bahkan kita hidup dengan cara barter masih sangat mungkin di negeri yang sering disebut potongan tanah syurga ini. Negeri ini lemah dengan praktek korupsi para pejabatnya (ini hanya pengulangan masa Belanda, bedanya dulu mereka korupsi dengan cara minta uang sama Belanda, sekarang nyolong langsung dari dana anggaran pemerintah). Dan rakyatnya pun kepayahan bergelayut dalam kebodohan pola pikirnya. Entah harus diibaratkan seperti apa ya? Inginnya maju bahkan secara zahir masih banyak yang dapat nilai 10, tapi telah mati sejak langkah pertama. Skak mat katanya.

Rakyat juga telah bergerak sendiri-sendiri dalam arah mereka, berdasarkan preferensi mereka, dan sudah bisa diduga, “saya paling benar, Anda salah “. Bukan itu masalahnya, karena jika memang Anda yakin dengan apa yang Anda pahami maka pegang sampai mati, dan itu akan menjadi kebenaranmu. Masalahnya adalah kita sering lupa, bahwa barangkali 1 meter di sebelah kita memiliki kadar keyakinan yang sama kuatnya seperti kita, sayang kontennya sedikit berbeda, bahkan kadang bertolak belakang. Ributlah kita dalam urusan yang seharusnya memang menjadi urusan masing-masing di tempat yang salah. Jika memang mau berbagi, janjian, rencanakan dan saling berdiskusilah dengan apa yang telah kita yakini. Dan inilah potret lucu dari sebuah negara AUTOPILOT. Mungkin pertanyaan bagusnya, aktivitas para pemimpin kita ngapain ya?

Negara kita sedang mencari bentuk, meskipun katanya telah puluhan tahun merdeka. Silih berganti datang sabotase untuk proses panjang itu. Terkadang benar-benar dilumpuhkan oleh sesuatu kekuatan hebat (katanya sih KONSPIRASI), tapi lebih seringnya karena praktek kekanak-kanakan bangsa kita yang menelan mentah-mentah berbagai ilmu tanpa diproses lebih lanjut dan diaplikasikan secara manusiawi di negeri mataharinya terbit tiga kali ini.

Ah, aku sebenarnya mau nulis apa sih? Nggak tahu juga, hanya aku merasa sedih dengan aktivitas perdebatan saudara-saudaraku di dunia maya, hingga mungkin gunjing-gunjingan di forum mereka masing-masing. Bukan masalah benar atau salahnya, tetapi sungguh bagiku itu satu pekerjaan yang tidak penting disaat banyak orang hari ini harus diajari sikap lapang dada, agar bisa menyikapi realita hidup dengan cara yang paling waras sekaligus menyikapi perbedaan dengan kepala dingin. Kita berada di titik mayoritas, tapi hasrat superioritas kita yang selalu tumbuh di setiap kepala menjadikan kita tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan mereka yang dikatakan minoritas. Dan di titik inilah, rasa superioritas kita dipupuk oleh mereka-mereka yang ingin kita tetap kecil, meskipun jumlahnya besar. Dan barangkali kitalah umat yang dikhawatirkan oleh Rasulullah di akhir zaman itu.

Maka, memang rihlah adalah salah satu cara untuk membuat kita mengerti tabiat dunia. Rihlahlah secara bebas terbuka. Bertemu dengan sebanyak-banyaknya manusia. Mengenal setiap detil mereka hingga akhirnya kita bisa mengerti bahwa imajinasi kita masih terlalu kecil untuk memahami dunia. Hanya, kita sudah diberi satu kata kunci, bahwa manusia itu bisa tetap menjadi baik meskipun tinggal di lingkungan terburuk sekalipun. Jika kita masih mau beralasan, maka riwayat para Nabi dan Rasul itu cukup untuk membungkan setiap alasan yang terlontar dari mulut kita.

Cukup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.