Hemm, ini sekedar curcol atas beberapa peristiwa panjang yang mewarnai hari-hariku. Bukan karena aku dicurigai dan dituduh (eh, ga tahu ding. Soalnya aku orangnya cuekan, apalagi dengan soal gunjingan orang tentang hal-hal yang memang tidak ada faktanya pada diriku). Tetapi karena ada orang-orang di lingkungan hidupku mengalami pasang surut persahabatan. Sejak kapan? Seingatku sejak aku mulai menjadi orang “cuek” dan sering mendengar kisah-kisah mereka yang merasa dicurigai dan dituduh.

Kawan, terkadang hidup ini memang tidak selalu indah. Kadang telinga ini memang tidak harus selalu mendengar cerita yang baik-baik saja. Kadang memang mata ini tidak harus selalu menyaksikan hal-hal yang menyenangkan saja. Ini dunia manusia. Masih dunia manusia. Dunia yang penghuninya diberi kebebasan untuk memilih dua jalan berbeda. Ada yang jadi pejuang, ada yang jadi pecundang. Ada yang jadi perintis kebaikan, ada yang jadi aktor penggunjing aib orang. Ada yang menyeru kebenaran, ada yang menghembuskan tuduhan. Tanpa perlu kita bicara proporsi banyakan mana, intinya kedua sisi itu ada. Pasti.

Yang jadi masalah adalah bahwa perilaku pecundang, perilaku penggunjing, perilaku pemfitnah dan segala perangai buruk lain tidak direkomendasikan ajaran Islam. Jadi jika ada seorang yang mengaku muslim tetapi masih suka menjadi pecundang, menjadi penggunjing aib orang, menjadi pemfitnah, bahkan menjadi perusak agama, maka ada yang salah dengan status ke-Islam-annya. Maka tak jarang yang merusak Islam itu sejatinya bukan dari orang lain yang di luar Islam, tetapi orang-orang yang mengaku muslim-lah yang tidak mampu memunjukkan kemuliaan Islam pada dirinya.

Nah, fokus curcolku di sini adalah soal mencurigai orang hingga terjadinya tuduhan. Sejauh kasus-kasus yang selalu berulang di dunia organisasi kampus, awal mulanya adalah sifat normal manusiawi yang didramatisir. Kondisi normal setiap orang adalah memiliki rasa suka dan tidak suka, like and dislike. Yang jadi masalah jika kita merasa tidak suka dengan seseorang kita mencari dukungan untuk merealisasikan ketidaksukaan itu menjadi sikap bersama. Apa dasar kita tidak menyukai seseorang. Jika dia berbuat salah, yang kita benci adalah kesalahannya. Tetapi hak senyum, salam, sapa dan segala hal yang menjad kewajiban sesama muslim jelas wajib diberikan baginya.

Like and dislike juga seringkali membuahkan kecurigaan yang berlebihan. Alih-alih kita menggunakan terminology waspada. Padahal curiga dengan waspada itu jelas dua hal yang berbeda. Waspada itu lebih pada sikap siap-siaga dengan segala kemungkinan. Sedangkan curiga itu memprediksi perilaku kejahatan. Jika curiga pada musuh saat perang di lapangan itu wajar, lha kalo curiganya dengan teman sendiri kan jadi ga jelas ujung-ujungnya. Mari kita jujur dalam berteman, jika memang kita masih menganggap teman maka berikan hak-haknya dan katakan sesuai dengan perasaan hati kita. Jika memang tidak, katakana tidak saja secara tegas dan tidak ada lagi persahabatan (dengan konsekuensi jika itu dilakukan sesama muslim maka bukankah itu kesalahan besar).

Kecurigaan yang berlebihan, adalah mesin kelas elit untuk memproduksi tuduhan. Karena segala gerak-gerik, bahkan sekedar ngupil saja bisa menjadi berita heboh untuk diproduksi dan rekayasa menjadi berita (kira-kira begitu kan logika media massa hari ini). Sengaja tidak saya gunakan istilah “fitnah”, karena definisi fitnah yang sesungguhnya bukanlah sebatas pada tuduhan atau tidak benarnya berita tentang seseorang. Nah, jika statemen tuduhan ini berkembang di kalangan orang yang malas riset tapi hobi nguping, jadilah gelombang sakit hati dan kubu-kubuan yang mengerikan. Ditambah lagi gaya khas feudal masyarakat Jawa yang punya aji-aji bernama “Pekewuh”, maka berita bohong ini menjadi subur makmur dari telinga ke telinga tanpa proses klarifikasi (tabayyun).

Jika sudah demikian, maka yang terlanjur sakit hati terkadang semakin keras dan sulit memaafkan, meskipun Allah memberi janji berupa syurga untuk orang yang mudah memaafkan orang lain. Yang menjadi agen berita tadi, juga tidak merasa bersalah tentunya karena faktor feodalisme (soalnya datang dari tokohnya sih). Jadilah drama paling aneh di mana ada orang yang sakit hati pada seseorang yang tidak merasa punya salah padanya. Ini barangkali mirip dengan hutang yang tidak berani ditagih namun diingat-ingat oleh sang pemberi hutang. Kalo kita mati trus belum lunas gimana?

Nah, singkat cerita. Aku ngeri banget dengan hal ini. Maka aku sangat berterima kasih kepada setiap orang yang mau mengomeli aku terang-terangan dengan segala sumpah serapahnya, karena itu akan menjadi bahan introspeksiku. Dari pada mereka yang tetap menyimpan hutangnya padaku dan menuntutku di hari akhir nanti. Sedangkan aku, aku berusaha untuk mudah melupakan kesalahan orang lain padaku. Ya Allah, semoga aku mudah lupa. Di samping aku ga meninggalkan hutang, hidupku akan selalu bahagia karena aku tidak terbiasa mengingat penderitaan, apalagi penghinaan, apalagi merasa sakit hati.

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.