Hari ini aku lagi jengah. Jengah dengan rumusan sebuah sistem. Sistem yang entah berlaku untuk siapa sebenarnya. Katanya sih sistem untuk kaum intelektual. Iya sih, mungkin jika aku jengah, aku kurang intelek, sehingga mual dan alergi mendengar hal itu. Tapi jika satu, dua, tiga sahabat-sahabat lainnya juga turut menyuarakan protes, maka untuk siapa sistem itu sebenarnya.

Sejak awal diperkenalkan, sistem itu sudah janggal dikepalaku. Tapi nafas kejunioranku kala itu membuatku memilih diam. Diam untuk belajar dan mencari kata-kata kunci atas sistem itu. Aku yang memang sebenarnya tidak paham, atau sistem itu sendiri yang membingungkan. Jika sistemnya membingungkan, mengapa diluncurkan. Ah, barangkali pembawa sistemnya yang salah paham. Mungkin begitu.

Sampailah suatu ketika salah satu pembuat sistem itu menjelaskan isinya. Aku paham, dan ketemu kata kuncinya. Ahaa, inilah yang seharusnya. Tidak ada lagi bias dan keraguan atas sistem itu. Sayangnya, paradigma lama tak kunjung berganti dengan yang baru. Maka, sistem ini seperti N250 yang gagal menjadi pesawat nasional. Jika N250 tidak sekalian terbang, yang ini malah disulap jadi bus yang hanya kuat mengangkut orang dalam jumlah terbatas. Kasihan banget pilotnya ya.

Semakin hari, sepertinya aku mulai membaca bahwa feodalisme kembali memasuki dunia perjuangan kami. Entahlah, apakah ini hanya perasaanku. Tetapi setidaknya hari ini aku mendapati banyak ketakutan di kepala banyak orang untuk terbuka. Atau sebenarnya kebingungan karena tak cukup modal untuk menyambut gegar gempita ribuan kode yang semuanya adalah masalah.

Jadilah ini alam para dewa. Khayangan imajinasi yang tidak bisa dimengerti oleh mereka yang terlanjur memilih tidak peduli. Terlebih mereka yang terlanjur sakit hati. Mungkin karena tidak diperhatikan, tidak didengarkan, hingga dituduh macam-macam. Aku pun semakin lama memilih diam. Diam karena harus dengan apa lagi bersuara. Suaraku ada bersama buku-buku, analisa, dan kata-kata kunci para master yang ternyata tak banyak diakses oleh mereka. Ah sudahlah, diam.

Diam saja, dan biarlah semua berjalan ke titik jenuhnya. Barangkali disitulah kesadaran akan datang. Dan tidak bermimpi terus-terusan dalam jebakan ke-GR-an yang amat parah. Ke-GR-an yang membuat kita menutup mata, bahwa orang lain itu hebat dan dapat kita jadikan guru. Yang penting aku tetap senyum, berbagi dan tak pernah merasa sakit hati.

4 Comments

  1. Mila

    Merenungi kata2 “Suaraku ada bersama buku-buku, analisa, dan kata-kata kunci para master yang ternyata tak banyak diakses oleh mereka”.
    Cukup menyesalkan hal ini juga. Tak gemar bergelut dengan kumpulan narasi ilmiah dan hanya eksekusi tanpa analisis, dan menurutku akhirnya berujung pada output penghakiman kelompok2 tertentu karena tidak adanya kepemahaman.
    Aku juga masih bergelut dalam proses mencari,menemukan,memadukan,dan mengaplikasikan sistem yang relevan dan valid…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.