Ceritanya aku telah berdiskusi dengan beberapa pengurus harian SIM yang baru yang akan dilantik nanti. Yah, biasalah sebagai sesepuh yang sebentar lagi akan dicopot jabatannya secara resmi aku harus memastikan kesiapan mereka satu demi satu baik secara mental maupun secara kapasitas. Mengapa? Karena kami juga tidak ingin menaman dosa karena kelalaian kami. Selagi sekarang masih punya “kekuasaan“ maka akan kugunakan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan pasukan baru. Karena setelah pelantikan itu, maka diamnya kami adalah kebaikan yang tiada tara untuk kebaikan dan kedewasaan kepemimpinan mereka nanti.

Satu hal yang menjadi pengalamanku adalah bahwa menjadi pemimpin lembaga itu tak hanya butuh tekad dan kerja keras. Tetapi butuh sevisi, sehati agar bisa seiringan berjalan. Omong kosong seorang pemimpin punya visi, tetapi tidak mendapat dukungan dari kiri kanannya dan juga orang-orang yang dipimpinnya. Jadi dalam hal ini aku menekankan kepada mereka pentingnya membangun visi bersama. Mengapa? Karena organisasi itu tempat berbagi impian bersama, bukan mimpi ketumnya saja, apa lagi mimpi golongannya.

Maka mendengar aspirasi, mencoba mengakomodasi adalah tugas dari para pemimpin lembaga, khususnya adalah ketua lembaga. Bukan hal yang mudah menjaring inspirasi sesungguhnya dari rekan-rekan seorganisasi, karena mereka bisa saja bermanis muka karena merasa sungkan atau yang lainnya. Maka ketika seorang pemimpin lembaga mengabaikan hal ini dan tidak memperhatikan sungguh-sungguh perkara yang terlihat remeh itu, maka ia pasti akan menjadi pemimpin yang diktator dan cenderung memaksakan kehendak (rada-rada malu nulis hal ini).

Kembali ke topik, jadi sebenarnya PR untuk para pemimpin lembaga kampus, sekaligus senior-seniornya adalah melatih dan mendorong terwujudnya visi bersama untuk mewujudkan gerak yang sinergis. Kebanyakan hari ini teori politik kanak-kanak di parlemen Indonesia telah ikut-ikutan meracuni pemikiran para mahasiswa di kampus. Bukan masalah beda-beda gerakannya, tetapi sikap kanak-kanaknya yang lebih membangkitkan semangat bersaing tidak sehat para cendikiawan muda ini. Bukannya berpikir solutif untuk mendidik sikap ksatria para pemuda, tetapi lebih seringnya para senior membuat mereka takut berpikir untuk menggagas sebuah inovasi yang lebih bermanfaat buat organisasi. Mengapa? Bukankah mereka yang sekarang tengah menghadapi, maka tidak selayaknya kita memantik mereka untuk bangkit menghadapi masalahnya sendiri sesuai dengan karakter dan kemampuan mereka, bukan dengan cara kita.

Bukti sevisi dan sehatinya mereka tidak pernah dapat kita ketahui dari tampilan akrab mereka. Mereka bisa bilang kepada kita bahwa mereka telah akrab dan menyatu, tetapi hakikatnya mereka sendirilah yang tahu apakah mereka telah benar-benar sevisi dan sehati. Jadi yang perlu dibangun antara kita yang telah senior dengan mereka adalah jangan ada dusta di antara kita. Maka budaya pekewuh dalam tataran organisasi, apalagi di tingkat kepemimpinan adalah kecelakaan besar yang akan menghancurkan masa depan organisasi ke depan. Karena korupsi dan berbagai penyimpangan yang sering kita jumpai sekarang itu berawal dari para pimpinan yang terbiasa meremehkan urusan ini, yaitu kesamaan visi dan kejujuran untuk membangunnya. Siapa menyembunyikan di dalam hati ketidakcocokan itu dan menyuburkannya diam-diam, maka suatu saat dia akan menjadi penggunting dalam lipatan ketika kesempatan datang.

Jadi sudahkah kita mengusahakan hal yang sangat penting ini? Atau jangan-jangan kita lebih sibuk mengurus penempatan atau masalah-masalah remeh yang hanya berkaitan dengan teknis lembaga, parahnya itu adalah konteks pikiran kita yang klasik dipaksakan untuk dipakai mereka juga. Wong tantangan mereka nanti itu beda dengan tantangan kita kok cara kita minta dipakai mereka. Biarlah mereka memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya, yang penting visi besar mereka sama dengan visi besar kita. Percayalah, tidak ada yang lebih berbahaya dalam kaderisasi selain kejumudan generasi dan hilangnya inovasi mereka. Apakah melayarkan kapal di daratan itu adalah metode yang dipakai Rasulullah untuk menaklukan musuh dalam peperangan? Jelas bukan, tetapi cara luar biasa ini dipakai oleh Sultan Muhammad al-Fatih. Tapi visi Rasulullah ini sama dan turun dengan kuatnya sampai di dada sang Sultan, yaitu penaklukan Konstantinopel.

Jadi ketika kita sudah sama-sama memiliki azzam dalam ber-Islam, kemudian memiliki tekad untuk berdakwah dan menyeru kebaikan, kemudian memiliki semangat untuk menebarkan kebaikan, maka disini letak usaha dan kesungguhan kita untuk membuat generasi yang kita bina itu mengerti visi dan tertanam kuat dalam dada mereka. Urusan teknis, serahkan pada mereka. Bukankah mereka juga berhak belajar dan mempraktekan hasil belajarnya. Menjaga visi, dan menyatukan visi itulah yang sebenarnya lebih penting untuk kita usahakan.

Sekali kesatuan visi dan tekad yang kuat untuk menggapai visi itulah yang bisa menyatukan kita. Karena jika visi itu satu, dan niat hati kita lurus, maka perbedaan-perbedaan yang terjadi hari ini pasti tidak akan menghalangi kita untuk bersatu selama perbedaan kita hari ini hanya bersifat metodik, bukan asasi. Semoga menjadi inspirasi bagi adik-adik yang akan berjuang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.