Ceritanya ini berawal dari salah satu kakak yang memberi banyak nasihat padaku. Sampailah kemudian ada kata yang membuatku merenung, yakni kata “prestasi“. Itu kata yang sepertinya sudah cukup jarang kuucapkan dan kutuliskan. Entah kenapa setelah kakak yang keren itu memberikan banyak nasihat yang salah satunya terdapat kata itu aku jadi tertarik untuk menuliskannya. Karena dahulu aku pun sering berteriak-teriak tentang prestasi semasa menjabat sebagai ketua umum di sebuah organisasi keilmiahan di tingkat universitas.
Prestasi, sesungguhnya itu kata biasa yang dalam KBBI berarti hasil yg telah dicapai (dr yg telah dilakukan, dikerjakan, dsb). Tetapi hari ini sepertinya kata itu telah mengalami spesialisasi. Masih ingat kan dengan pelajaran bahasa Indonesia tentang penyempitan makna. Dalam fenomena sosial, tentu saja penyempitan makna ini terjadi karena perulangan yang sering terjadi akibat monotonnya sistem pendidikan kita yang semata-mata mengukur prestasi dari angka-angka raport dan berbagai capaian yang sifatnya kompetitif.
Itu bukan hal yang salah, dan aku telah mengalami masa panjang itu. Sebutan sebagai orang berprestasi dengan berbagai atribut yang diraih mungkin dahulu terasa membanggakan. Tapi semakin ke sini, dengan segala penyempitan maknanya, istilah itu kian menjadikan diriku terasa jengah. Aku memilih mengganti kata prestasi dengan kata “jejak“. Kata “jejak“ menurutku lebih pas untuk didengungkan diperjalananku.
Aku bukan korban yang merasa terhina karena sempitnya istilah kata-kata prestasi itu hari ini. Tetapi aku merasa bosan ketika ada orang yang membandingkan antara seseorang dengan orang lain dalam masalah potensi akademik yang dimiliki. Hari ini sudah bukan saatnya lagi bicara saling mengunggulkan hal seperti itu. Setiap orang berhak untuk berbuat dan berkarya sesuai dengan kemampuannya.
Jika jengah dengan kata “prestasi“, mari kita ganti dengan kata “jejak“. Dan mari kita buat jejak kita masing-masing.