Sekilas membaca judulnya akan menimbulkan asosiasi bahwa tulisan ini adalah tulisan yang berat dan menjemukan. Sengaja penulis membuat tajuk demikian untuk mengawali sebuah tulisan tentang hasil perbincanganku dengan seorang jamaah di masjid yang aku tinggali sekarang. Beliau adalah perintis dakwah yang kini menjadi tetua di lingkungan warga Jebres Tengah.

Inspirasi Tentang Bertahan

Lagi-lagi Allah senantiasa membuat pengisahan hidup yang indah untuk hamba-Nya. Dia pertemukan aku dengan orang-orang yang akan menguatkan azam ini. Adalah Pak Waluyo, seorang yang telah berusia paruh baya yang gigih dan bersemangat dalam membersamai generasi muda di daerah yang kutinggali kini. Seorang yang pernah membuat catatan sejarah bagaimana menjadi perintis dakwah dan pejuang masjid ketika kala itu Islam begitu asing dan masih menjadi sesuatu yang tabu di masyarakat. Dengan gagahnya beliau terus melaju mendirikan kelompok-kelompok pengajian anak-anak dan pemuda, meskipun taruhannya adalah nyawa lantaran banyak yang menantang berantem dari preman-preman. Hanya, beliau yakin bahwa usaha ini pasti akan senantiasa ditolong oleh Allah.

Alhasil, apa yang beliau impikan ternyata sedikit demi sedikit terwujud dengan lahirnya kader-kader baru yang siap melanjutkan estafet kepemimpinannya. Konon, kata beliau, saking asyiknya bergelut dalam perjuangan ini, beliau sampai lupa menyiapkan bagian terpenting dari hidupnya, yaitu pernikahan. Ya, beliau akhirnya menikah di usia yang relatif lebih tua dari rata-rata orang menikah di waktu itu. Dan aku merasa bahwa apa yang kurasakan hari ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang beliau hadapi waktu itu. Berarti aku harus kuat dan tetap bertahan dalam jalan yang mulia ini.

Mahasiswa UNS, Di Mana Kalian?

Maaf sebelumnya jika aku menyebut merk. Jujur saja, ini untuk mengingatkan diriku yang terlalu sibuk dalam dunia literasi kampus yang menjemukan dan kurang melek realita. Pak Waluyo bercerita bahwa keberhasilan dakwah di sekitar masyarakat kampus tidak lepas dari peran mahasiswa-mahasiswa UNS yang hebat. Dahulu beliau adalah salah satu orang yang setia mengaji di NH dan sering menggandeng para mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kemasyarakatan. Bahkan katanya, kepengurusan masjid kampus dahulu melibatkan masyarakat di sekitar kampus, sehingga syiar Islam ini terasa lebih luas dan menumbuhkan kesadaran yang besar bagi masyarakat.

Yang paling mengagumkan bagi beliau adalah tekad dari para mahasiswa untuk manunggal dengan masyarakat. Bahkan masih kata beliau, rektornya waktu itu Bapak Prakosa pun ikut turun ke masyarakat dalam mewujudkan pembangunan sarana-sarana sosial. Bahkan berdirinya masjid yang kutempati saat ini adalah hasil kerja keras mahasiswa dalam membebaskan tanah dan mengusahakan bantuan ke pemerintah bersama masyarakat sekitar. Dan di akhir cerita itu beliau berkata, “sekarang kok mahasiswa ga pada mau aktif lagi ya di masjid-masjid?”. Plak! Pipiku duluan nih yang tertampar dengan keras. Yah, kuakui sepertinya kami terlalu mbulet-mbulet di kampus saja Pak.

Kiprah Mahasiswa

Dalam salah satu tridarma perguruan tinggi, maka diharapkana ada kontribusi perguruan tinggi terhadap pengabdian masyarakat. Jika dilihat dari kacamata mahasiswa, maka tentu mereka adalah orang-orang yang harus turut bertanggung jawab dengan melakukan berbagai upaya positif yang memberi dampak nyata kepada masyarakat. Jika seorang Pak Waluyo saja sampai bertanya seperti itu, maka itu adalah sindiran sekaligus peringatan bagi kita para mahasiswa yang katanya kaum elitnya para intelektual di negeri ini.

  1. Bisa jadi berbagai kebijakan kampus kita hari ini memang tidak banyak memberi peran nyata pada mahasiswa untuk berkontribusi kepada masyarakat. Mulai dari kurikulum yang lebih mendukung kelassentris, kultur dosen yang kurang baik dalam menjadi teladan pengabdian masyarakat, hingga visi kampus untuk sekedar mencetak mahasiswa unggul namun agar diterima kerja di perusahaan-perusahaan ternama, bahkan mulitnasional
  2. Bisa jadi, ghirah mahasiswa hari ini sedang berada di titik kefuturannya. Organisasi mahasiswa tidak dapat menjadi kawah candradimuka yang bagus lagi karena banyak aktivis karbitan yang lebih banyak makan anggapan dan pujian dari pada meneguk pahitnya realita karena terbiasa terjun dan bertanya. Eksistensi gerakan mahasiswa tinggal menjadi pelengkap dinamika kampus lagi karena minimnya aktivis yang ideologis, lantaran banyak aktivis pragmatis yang salah belajar dan berproses, ditambah dengan strategi kampus yang halus untuk mematikan daya kritis mahasiswa lewat berbagai implementasi kurikulumnya yang padat dan makin berat.
  3. Bisa jadi memang tidak ada sistem antara masyarakat dan kampus yang terbangun secara nyata. Semuanya hanya saling menuntut tanpa ada jembatan yang menhubungkan di antara mereka. Yang di kampus lebih sibuk menumpuk “sampah” kertas di perpusatakaan lantaran banyaknya karya ilmiah mangkrak karena tidak diterapkan atau memang tidak dapat diterapkan. Dan yang di masyarakat sibuk dengan urusannya sendiri tanpa menyadari bahwa dengan adanya kampus yang dekat dengan mereka, maka taraf hidup mereka dapat meningkat jika mau belajar dari orang-oramg yang dibalik tembok kampus itu lewat program kerja sama yang nyata dan berkelanjutan.

Ketiga hal di atas masalah dan butuh penyelesaian. Maka khususnya kepada mahasiswa, yuk lebih dekat lagi dengan masyarakat. Arahkan semua potensi organisasi dan pergerakan yang ada untuk merekrut mahasiswa yang kemudian diajari peduli dengan masyarakat.

Jika hari ini masih ada Doktor Lulusan Prancis yang masih suka bertanam macem-macem dirumahnya sambil menebar virus cinta masyarakat, atau dosen Ekonomi lulusan Australia yang telah bersumpah untuk tidak mengajarkan teori ekonomi modern kepada mahasiswanya, mengapa kita juga hanya sibuk berkutat pada diktat yang tidak selamanya akan kita telan isinya. Diktat perlu, IP Cumlaude perlu, tapi jika sampai ketika diwisuda kita masih tergolong mahasiswa K-3 atau K-4 saja (K terakhir Kakus) yang minim kontribusi di masyarakat, maka kita adalah penambah daftar mahasiswa eksklusif di perguruan tinggi yang boleh jadi ketika kita menjadi para pemimpin bangsa nantinya, untuk menjadi teladan hidup mandiri bagi rakyatnya tidak bisa. Begitukah? Semoga saja tidak.

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.