Aku sudah meresensi dua buku lain dari trilogi Negeri 5 Menara, yakni Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Namun aku justru belum meresensi buku pertamanya yang berjudul Negeri 5 Menara itu sendiri. Buku yang pertama telah kubeli lebih dari dua tahun yang lalu sejak awal kemunculannya. Meskipun menurutku kisahnya sedikit lebih membosankan di banding kisah di 2 buku sesudahnya, tetapi kisah di dalamnya adalah refleksi masa remajaku yang sama-sama pernah merasakan aroma pesantren. Bedanya, bang Ahmad di pesantren beneran, sedangkan aku lebih tepatnya sebuah asrama yang tidak seintensif PPM Gontor.

Ketika itu, aku pertama kali datang ke Ponpes Al-Ikhlas setelah dinyatakan lulus dari SMP terbaik di kecamatan. Dengan NEM yang baik (cukup untuk standar minimal masuk di SMA favorit kabupatenku waktu itu) aku memberanikan diri ke ponpes yang telah menjadi tradisi dari cucu eyang Atmo Taruna sejak zaman mas Sunaryanto hingga Pondang, dan akhirnya aku. Semua berseling 3 tahun, artinya begitu mereka keluar maka masuk yang baru, begitu seterusnya.

Wajah pertama kali yang menyapaku adalah Allahyarham KH. Muh Hussein. Sosok kharismatik yang didaulat menjadi ketua MUI Gunungkidul ketika itu. Aku berdebar-debar ketika mengajukan pendaftaran sebagai santri di asrama tersebut. Ayahku yang sejak SD mengenalku sebagai sosok yang manja pun tentu ikut berdebar melihat anak pertamanya akan merasakan dunia pesantren. Tak pernah mengenal bagaimana mencuci baju sendiri, apalagi memasak, kini memilih untuk tinggal di tempat yang jelas-jelas tidak senyaman kos yang diisi sendiri.

Tapi masuk di sini adalah keinginanku sendiri yang timbul setelah mendengar bahwa di Gunungkidul ada asrama yang gratis lagi dapat belajar agama. Riwayat sebagai anak nakal dan abangan yang sholatnya jarang-jarang tentu menjadi hal yang memalukan bagi diriku sendiri setelah mengenal salah satu sahabat yang hingga kini terus menjadi sparing partnerku. Bahkan sejak SMP hingga kuliah kami selalu satu kampus dan satu kos. Hanya saja di akhir masa lulus kami, kami pun berpisah sesuai dengan pilihan lingkungan kami masing-masing meskipun seringkali mencari-cari waktu untuk bernostalgia bersama.

Novel Negeri 5 Menara adalah rekam jejak Bang Ahmad selama di PPM Gontor. Berbagai petuah dari para gurunya ia abadikan menjadi nasihat-nasihat yang terselip indah dalam adegan hidup para santri yang konyol. Pun demikian denganku. Tiga tahun di asrama Masjid Agung Kota Wonosari, di ponpes Al-Ikhlas itu aku pun mendapati banyak hikmah mulai dari kisah kekonyolan kami yang sering telat shalat jamaah hingga dimarahi senior, tidur saat dirosah, hingga galau gara-gara suka sama gadis-gadis di sekolah kami. Itu menjadi cerita indah yang tak pernah kulupakan.

Petuah-petuah dari para guru benar-benar membekas kuat di dada-dada kami. Meski sebagian kami badung, namun kami tak dapat menampik bahwa melazimi kehidupan para guru adalah cara belajar terbaik untuk kami terbiasa berbuat hal yang baik pula. Alm KH Muh Hussein tak banyak berbicara kecuali saat dirosah saja, tetapi kebiasaannya sehari-hari adalah nasihat yang membuatku kini mengerti bagaimana seharusnya hidup menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

Menamatkan Negeri 5 Menara kita mendapatkan satu mantera sakti, sebuah pepatah berbahasa Arab yang berbunyi man jadda wajada yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan (hasilnya). Kami membuktikannya kini bahwa menjadi orang yang terus bergiat belajar, terutama belajar tentang kehidupan akan membuat kami mengerti banyak hal yang tersembunyi. Kami semakin memahami bahwa kesuksesan bukan semata-mata diukur dari banyaknya harta tetapi juga dari semakin baiknya cara hidup kami.

Dan akhirnya, kamilah generasi terakhir bersama dua adik tingkat kami ketika bersama beliau. Sosok yang sabar dan lembut itu pun menghembuskan nafas terakhir di awal tahun 2008 silam. Ketika itu aku sedang duduk di kelas XII SMA, dan sebentar lagi menamatkan studi di pendidikan menengah. Ketika novel Negeri 5 Menara kubaca tiga tahun kemudian, maka itu seperti nostalgia atas masa-masa remajaku yang bersinar di bawah menara Masjid Agung Kota Wonosari. Kala itu kami tak mengenal istilah sahibul menara, tapi kami telah biasa berbincang akrab di bawahnya.

Membaca Negeri 5 Menara, aku membaca sisi lain diriku sendiri. Aku malu ketika hari ini jika tak sebaik hari-hari itu bersama teman-temanku yang kini telah terpisah dalam urusan kami masing-masing. Kerinduanku pun belum terobati di lebaran kemarin karena kami tak jadi bertemu di pondok kami tercinta. Seperti apakah mereka sekarang? Tentu telah berubah menjadi lebih baik dengan jalan hidup mereka masing-masing. I miss them.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.