Sejak kemarin aku dapat kesempatan untuk mudik ke kampung halaman. Agendanya seharian adalah mengurus dua ID card penting yang menjadi identitas diriku. Pertama Surat Izin Mengemudi yang akan segera habis masa berlakunya di hari ulang tahunku nanti. Kedua adalah e-KTP yang belum sempat kuambil di kantor kecamatan.
Sebenarnya aku ingin menikmati jalan-jalan sendiri di ibukota kabupaten yang sudah lama sekali tidak pernah kukunjungi. Tapi hari ini ternyata ibu juga bermaksud akan membuat SIM baru untuknya. Aku senang ibu akan punya SIM, karena ayah juga sudah memberikan sepeda motor baru untuknya agar bisa mengantar jemput Zahra pergi dan pulang sekolah.
Masalahnya, demi alasan efektivitas maka jalur cepat pun dipilih. Aku mau bilang enggak boleh juga akhirnya bungkam mengingat dulu waktu pembuatan SIM pertama aku menggunakan jalur semi-calo. Ya tetap melewati tahapan-tahapan pendaftaran seperti biasa, hanya saja jaminan langsung jadi hari itu ada. Tapi kali ini adalah cara ekspres lewat orang dalam yang memang biasa dipake banyak orang. Ampun deh, Ramadhan ini aku takluk di rumah sendiri. Padahal udah dapat training value dari Beastudi Indonesia tentang integritas.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak transparansinya sistem pembuatan SIM di kantor polisi saat ini adalah salah satu potensi bagi masyarakat yang ingin serba instan dengan memanfaatkan orang dalam. Meskipun telah menggunakan teknologi informasi, sistem tidak sepenuhnya terbuka. Aku bermimpi alangkah bagusnya jika sistem pendaftaran SIM bisa dilakukan di kecamatan dengan menunjukkan e-KTP yang dipindai oleh alat yang otomatis terintegrasi dengan sistem registrasi di database kepolisian. Kemudian muncul jadwal dan antrian yang fix di layar monitor kapan tes (teori dan praktek) dan waktu susulannya jika gagal.
Tapi itulah karakter yang masih menjadi bagian terdekat masyarakat kita. Yang mau cari enaknya saja, dan sistem yang memang masih warisan VOC asli. Ibu hanya bagian dari korban ketidakmengertian itu. Karena tidak mungkin aku akan menceramahi beliau yang secara kapasitas pendidikan tidak menjangkau untuk mengerti hal-hal sejauh itu. Ayah yang juga sibuk dengan pekerjaannya tentu akan murka jika aku protes di waktu-waktu yang aku sendiri tidak bisa menjadi solusi selain kesempatan hari ini bisa mengantar ibu ke polres.
Kita mungkin butuh 1 abad lagi untuk bisa mendidik masyarakat agar sadar dan bertanggung jawab secara sosial seperti masyarakat Eropa, Amerika dan negara-negara maju lainnya. Mereka telah baik secara sistem meskipun kita sama-sama tahu dalam kehidupan pribadi sebagian mereka cukup rusak karena memang budaya bebas yang mereka anut. Di negeri kita, banyak orang-orang yang baik, tapi kedengkian, egoisme, dan rasa benar sendiri kerap kali menjadi masalah untuk kita bisa saling berbagi dan memiliki sinergi. Tapi itulah adanya negeri kita yang teramat luas ini.
Sudahlah, aku masih anak ingusan menjelang usia 23 tahun. Apa yang bisa kulakukan selain terus belajar dan mengasah kemampuan. Karena masaku bukan bicara masalah kepemimpinan dalam arti praktis apalagi “ngumumi”, tapi kepemimpinan ideal, yang terus belajar untuk merawat idealismenya. Masaku memimpin nanti adalah 20 tahun yang akan datang. Jadi 20 tahun masa belajar ini tidak boleh kusia-siakan. Dan aku tidak peduli menjadi seperti apakah aku nanti karena kepemimpinan itu bukan semata-mata kekuasaan secara definitif, tetapi pengaruh yang memberi perubahan untuk sebuah peradaban. Ulama-ulama setelah masa generasi salafus shalih jarang yang menjadi pemimpin dalam arti definitif, tetapi kepemimpinan mereka membuat umat senantiasa bersatu dan terciptalah kesejahteraan.
Kalau pun aku benci dengan kekacauan dan keganjilan di negeri ini, simpan saja sebagai dendam yang terus membara untuk kita balas dan hancurkan di 20 tahun yang akan datang sekiranya belum ada yang berani menghancurkan sejak hari ini. Inilah sesungguhnya masalah kita. Sadarkah?